Desa Elf berada dalam damai. Dua tahun telah berlalu sejak pertempuran mengubah arah takdir banyak orang. Di sinilah Vilma, Kilyuna, dan sisa Grup Elang mengasingkan diri, belajar, dan menunggu dunia luar yang perlahan bergerak menuju perubahan besar.
Vilma duduk di atas dahan besar, memperhatikan pelatihan ringan yang sedang dilakukan oleh Kilyuna dan para penjaga Elf. Ia masih sulit memahami kapan tepatnya dirinya mulai memperhatikan gerak tubuh Kilyuna—atau ekspresinya saat serius.
"Kenapa aku… jadi memperhatikan dia terus, ya?" gumamnya pelan, sebelum buru-buru membuang pandangan.
Di tanah lapang, Kilyuna menyeka keringat. Di sebelahnya berdiri seorang gadis Elf berambut perak kehijauan, mengenakan jubah tempur ringan dan mengenakan kalung dengan lambang pohon suci. Dialah Erellya, putri pemimpin Elf.
Erellya tertawa pelan. "Kau tetap cepat seperti biasanya, Kilyuna."
Kilyuna tersenyum ramah, "Kau juga meningkat pesat. Pukulanmu tidak seenteng dua tahun lalu."
Tatapan Erellya melembut. Tapi Kilyuna tidak menyadarinya.
> "Dia tidak pernah berubah. Hangat… tapi tak pernah memberi harapan."
Erellya berjalan menjauh sejenak, menatap ke arah tempat latihan. Dalam diam, hatinya berbicara:
> "Kau tak ingat, ya? Saat aku hampir mati diserang monster di hutan timur, dan kau melompat melindungiku tanpa pikir panjang. Kau berdarah… kau menatapku sambil tersenyum. Sejak saat itu, aku tahu… hanya kaulah yang bisa membuat jantungku berdetak seperti ini."
Ia menggenggam dadanya erat.
> "Tapi aku tahu, kau melihatku hanya seperti… adikmu."
Dan benar, ketika Vilma turun dari pohon untuk bergabung, Kilyuna menoleh pada Erellya dengan pandangan hangat yang sama sekali tidak romantis.
"Erellya," kata Kilyuna pelan, "kau semakin mirip adikku… matamu, semangatmu. Jadi jangan terlalu keras berlatih. Kau harus jaga dirimu."
Erellya hanya tertawa lembut. "Kau terlalu khawatir, Kilyuna."
Dari kejauhan, Vilma memandangi mereka.
> "Mereka… kelihatan dekat. Tapi kenapa aku merasa aneh?"
Ia tidak tahu nama perasaan itu. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat.
---
Malam hari, di sekitar api unggun desa, Kilyuna menjelaskan sedikit taktik pertempuran pada Fren dan Seviel, sementara Vilma duduk diam di dekat pohon, masih memikirkan sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan. Di sampingnya, Erellya duduk… menatap api.
Hening. Tapi hatinya bicara:
> "Aku tak peduli jika kau tak membalas cintaku. Asalkan aku bisa melihatmu dari dekat… aku akan kuatkan diriku. Karena mungkin… hanya aku yang melihat betapa rapuhnya dirimu di balik semua kekuatan itu."
---
Hutan Finrena selalu diterangi cahaya lembut yang keluar dari pepohonan suci. Di sanalah terletak Desa Elandrial, pemukiman utama ras Elf Hutan Tertua, dilindungi oleh Roh Alam dan perjanjian yang ditandatangani ribuan tahun lalu saat dunia masih segar. Desa ini dipimpin oleh High Matriarch Allenya, ibu dari Erellya, yang memimpin dengan kebijaksanaan dan koneksi kuat pada Roh Agung Finrena.
Struktur Desa Elandrial:
High Matriarch (Pemimpin Spiritual dan Pemerintah)
Dewan Roh (4 tetua elf pemanggil roh besar)
Penjaga Pohon (militer dan penjaga perbatasan)
Kaum Pembuat (pengrajin, penyair, dan pencipta ramuan)
Warga Biasa (petani cahaya, penenun, pemburu)
Sejak Grup Elang tinggal di desa ini, mereka bukan hanya tamu, tapi juga ikut menyatu. Fren dan Yenra membantu pelatihan sihir dasar di Sekolah Roh Muda, Seviel sering berdiskusi dengan Dewan Roh soal sihir langka dari luar benua, dan Kilyuna? Ia menjadi semacam simbol pahlawan asing bagi anak-anak elf dan—tanpa ia tahu—bagi hati Erellya.
---
Sore itu, di pasar pohon gantung.
Vilma sedang membantu seorang nenek elf menjajakan kain bersulam roh angin.
> "Vilma-chan, tolong ikatkan simpul ini."
"Eh? I-ini simpul?" jawab Vilma bingung, menarik simpul malah membuka semuanya.
Nenek itu tertawa. "Aduh kamu ini. Lincah waktu melawan monster, tapi simpul kain saja bisa kalah."
Vilma tertawa kecil. "Hehehe… maaf ya, aku memang bodoh urusan begini…"
Dari kejauhan, Kilyuna melihatnya dan tersenyum samar.
> "Dia mulai tersenyum lebih sering… itu bagus."
---
Di sisi lain,
Erellya memperhatikan dari balkon rumah pohon. Hatinya gundah. Ia mencoba tak memandang Vilma seperti saingan… tapi kadang sulit.
> "Dia tidak sadar… Kilyuna hanya menatapnya, bukan aku."
Malam harinya, mereka semua berkumpul di tengah desa, menikmati Festival Roh Cahaya.
Warga elf menari dan menyanyikan lagu-lagu kuno, api roh biru melayang, menciptakan ilusi kuno yang menceritakan kisah:
> "Dulu, Finrena adalah tempat suci yang berdiri di tengah kehancuran Benua Austania. Saat manusia, iblis, naga, dan roh bertempur, para elf memilih keluar dari perang. Mereka membuat perjanjian dengan para roh—tidak akan menaklukkan, tidak akan ditaklukkan. Tapi mereka akan mengamati. Menjaga keseimbangan."
---
Setelah pertunjukan, Vilma berjalan ke arah danau sendirian.
Tak disangka, Erellya mengikutinya.
"Kau dekat dengan Kilyuna, ya?" tanya Erellya.
Vilma terdiam, gugup. "A-aku… tidak tahu. Tapi aku… nyaman saja."
Erellya tersenyum—sedikit pahit.
> "Dia orang yang membuat kita semua merasa aman. Tapi dia… tidak pernah membiarkan siapa pun masuk terlalu dalam."
Kemudian, suara tawa anak-anak elf terdengar dari kejauhan. Mereka sedang berlari mengelilingi Kilyuna, memintanya menceritakan kisah pertempuran.
Erellya menatapnya lama.
> "Lihat? Dia milik semua orang. Tapi aku… tetap berharap, mungkin suatu saat, dia akan menoleh padaku."
Vilma tidak tahu harus berkata apa. Tapi untuk pertama kalinya… ia merasa hatinya ditantang.
---
Malam di Desa Elandrial kembali sunyi setelah perayaan kecil. Di salah satu rumah pohon tinggi, Grup Elang duduk bersama mengelilingi meja kayu melingkar. Lilin roh biru menyala lembut di tengah ruangan. Gelas-gelas teh bunga elf masih mengepul, dan aroma manis memenuhi udara.
Vilma meletakkan cangkirnya. "Ngomong-ngomong… kalian sadar nggak sih, Elerion tahu terlalu banyak hal?"
Seviel meneguk tehnya perlahan, lalu mengangguk. "Aku juga merasa begitu. Dia tahu sejarah naga, tahu struktur sihir roh, bahkan tahu asal mula Lingkaran Dunia. Bahkan dia tahu tentang 'Sepuluh Keterampilan Pembunuh Dewa'… lebih dari yang seharusnya diketahui elf biasa."
Fren menyela pelan, "Bahkan tahu detail lokasi tempat terlarang yang tidak pernah dicatat di peta."
Yenra mengangguk cepat, matanya bersinar. "Dan dia tahu banyak soal makanan manusia juga! Waktu aku nyebut 'pancake', dia langsung cerita tentang 'sirup dari utara'. Gila sih."
Kilyuna menyandarkan punggung ke dinding kayu, menatap ke arah langit yang terlihat dari jendela. "Kalian merasa dia… bukan cuma elf biasa?"
"Bukan cuma itu," tambah Vilma pelan, "ada momen saat dia menatapku seperti… dia tahu apa yang aku sembunyikan."
Seviel membalik halamannya dan mencatat. "Ada kemungkinan dia memiliki hubungan dengan Penjaga Memori Dunia. Mungkin… dia pernah menjadi bagian dari mereka. Atau… dia menyembunyikan identitas aslinya."
Yenra mendongak dramatis. "Hah! Jangan-jangan dia tuh sebenernya makhluk kuno yang pura-pura tua dan misterius biar kita kagum!"
Fren menjawab dengan tenang, "Kamu juga sering pura-pura pintar biar kita kagum, Yenra."
"Hey!!"
Tawa pun meledak.
---
Sementara itu, dinamika kekeluargaan mereka semakin erat:
Seviel duduk di pojok dengan tumpukan buku dan terus menghubungkan informasi tentang Elerion dengan teori dunia lama.
Fren tetap tenang, kadang mengangkat alis tiap kali Yenra bersuara, tapi sebenarnya selalu mendengarkan dengan saksama.
Yenra sesekali berdiri dan meniru gerakan Elerion yang 'misterius', membuat Vilma tertawa lepas.
Kilyuna tetap diam, tapi matanya penuh pertimbangan.
Vilma tersenyum kecil, ikut mencatat hal-hal yang mungkin berguna nanti, meski ia masih tidak paham semua istilah.
> "Mereka ini aneh... tapi aku merasa... seperti di rumah." pikir Vilma.
---
Sebelum tidur, Kilyuna menatap langit dan berkata:
> "Elerion menyimpan sesuatu… dan cepat atau lambat, kita harus tahu siapa dia sebenarnya."
Dan di luar, di antara pepohonan Finrena, sosok berjubah putih dengan tongkat akar berdiri diam, menatap ke arah rumah pohon itu dari kejauhan.
---
Pagi hari di Desa Elandrial, kabut tipis masih menggantung di antara akar pohon raksasa. Di dekat pelataran latihan, Grup Elang berkumpul, niat awalnya untuk 'latihan pagi'… tapi nyatanya:
"Kenapa... kita malah duduk melingkar dan makan roti isi elf?" tanya Vilma, menggigit isi kacang manis.
Yenra mengangkat jarinya, "Karena—dan ini penting—latihan butuh energi. Roti ini, energi. Aku? Strategis."
Fren menatap kosong. "Kamu hanya malas."
"Mana buktinya?" Yenra menantang, lalu langsung duduk selonjoran sambil mengunyah lebih keras.
Sementara itu, Seviel sibuk mencoret-coret sesuatu di lantai tanah.
"Kalau kita buat peta relasi... dan narik garis dari kata kunci yang Elerion sebutkan minggu lalu... ini membentuk pola." Ia menatap semua dengan mata berbinar. "Lihat ini—ini simbol kuno untuk 'sumber memori dunia'."
"...Itu lebih mirip gambar kucing," komentar Vilma.
"Itu kucing yang menyimpan rahasia besar!" balas Seviel kesal.
---
Mereka pun sepakat untuk "mengawasi" Elerion.
Yenra dengan gaya ninja, merayap di belakang semak-semak sambil membawa buah elf yang bisa dilempar.
"Kita akan misi penyelidikan rahasia."
Fren menatapnya, datar. "Itu Elerion. Dia bisa melihat roh yang tidak kasat mata. Kamu berdiri di situ pakai bunga di kepala, pasti dia tahu kamu dari tadi."
Yenra kaget dan langsung berlari balik ke grup. "Dia tadi... melambaikan tangan ke arahku... sambil tersenyum! Horor banget!"
Vilma tertawa terpingkal-pingkal.
---
Sementara itu, Kilyuna berbicara pelan dengan Seviel.
"Aku merasa Elerion... menyembunyikan rasa duka lama. Dia tidak sekadar tahu banyak. Dia pernah melihat kehancuran."
Seviel mengangguk. "Mungkin dia saksi dari sejarah yang bahkan tidak tertulis. Tapi kenapa di sini?"
Fren menimpali, "Mungkin desa ini bukan hanya tempat pelindung... tapi juga tempat penjara."
Diam sejenak.
Yenra langsung mengangkat tangan. "Oke, ini mulai seram. Aku lebih suka misteri roti siapa yang habis sebelum sarapan tadi."
Semua menatap Yenra.
Yenra menelan ludah. "…Aku kira itu untuk umum...?"
---
Dan malamnya, ketika mereka duduk mengelilingi api roh kecil...
Vilma tertidur dengan kepala bersandar ke bahu Kilyuna. Yenra bersandar di lutut Fren sambil menggambar monster dengan ranting. Seviel masih mencoret-coret, dan sesekali melempar tatapan tajam ke arah Kilyuna, seolah membaca pikirannya.
Kilyuna menatap langit malam, lalu bicara lirih.
> "Mereka aneh... tapi mereka juga satu-satunya keluarga yang kupunya sekarang."
Fren menjawab tanpa menoleh, "Kami juga merasa begitu."
Yenra ikut mengangguk... sambil tidur.
---
Pagi berikutnya, Elerion mengundang Grup Elang ke sebuah tempat tersembunyi di bawah akar pohon utama Elandrial—pohon tertua yang menjadi pusat desa elf.
"Ini tempat suci," kata Elerion pelan. "Biasanya hanya para Tetua yang boleh masuk. Tapi kalian… kalian membawa percikan takdir baru."
"Percikan takdir?" tanya Yenra sambil berbisik pada Fren. "Itu nama bagus buat band."
"Fokus," bisik Fren.
---
Mereka tiba di ruang bawah tanah alami, dengan akar raksasa menggantung dan cahaya roh berkilau lembut.
Di tengahnya, terdapat lempengan kristal berbentuk spiral, mengambang di atas altar batu.
Elerion berdiri di depan altar dan menatap Grup Elang satu per satu.
> "Ini adalah Penjaga Kenangan Dunia. Salah satu dari sedikit peninggalan langsung dari zaman sebelum Tuhan meninggal."
Semua terdiam.
"Jadi... kamu bukan cuma Tetua biasa?" tanya Seviel dengan lembut.
Elerion tersenyum. "Aku dulu penjaga gerbang pengetahuan di Menara Putih. Sebelum kehancuran. Sebelum bangsa manusia menghancurkan satu benua penuh karena ketamakan pada sihir. Aku... menyaksikan semuanya."
Yenra terdiam. "Jadi kamu kayak... kakek dunia?"
"Yenra…" keluh Vilma pelan.
---
Elerion tertawa kecil. "Kakek dunia… mungkin. Tapi semua kenangan itu terlalu berat untuk ditertawakan."
Ia lalu menunjuk pada kristal spiral.
> "Dunia ini tidak tercipta dengan kesempurnaan. Tuhan menciptakan dasar: elemen, roh, dan kehendak. Tapi dia juga menciptakan aturan. Salah satunya: Tuhan tidak boleh mencintai secara pribadi."
Elerion menatap Vilma dan Kilyuna.
> "Tapi dia jatuh cinta. Pada seorang manusia. Melahirkan anak."
> "Kekuatan-Nya pun pecah. Sebagian diwariskan ke anak itu, sebagian lagi... menciptakan 10 Keterampilan Pembunuh Dewa, sebagai warisan terakhir. Bukan untuk perang. Tapi sebagai jaminan bahwa kehendak bebas tetap hidup."
---
Grup Elang menyerap semuanya. Tapi tentu saja...
Yenra mengangkat tangan. "Jadi... kalau Tuhan bisa jatuh cinta, artinya aku punya harapan dong ya?"
"Dengan siapa?" tanya Fren.
Yenra menunjuk langit-langit gua. "Dengan makhluk api bintang yang pernah muncul di mimpiku!"
Vilma tertawa sambil menutup mulut, dan Kilyuna... hanya mengusap wajahnya pelan.
---
Setelah momen serius dan komedi itu, Elerion menunjukkan peta besar berukir cahaya, menampilkan dunia Austania.
> "Kerajaan Rubelion ada di tengah-tengah konflik yang belum meletus. Di utara ada Negara Dewan, tempat para ilmuwan dan penyihir bersatu. Di barat, Gereja Suci Barat menyembah Anak Tuhan. Di selatan, wilayah Dwarf yang tertutup. Dan timur… kekaisaran yang haus akan warisan dewa."
Ia melanjutkan:
> "Benua ini juga menyimpan ras-ras yang tersembunyi: Sylphin yang hidup di udara, Ras Batu yang tertidur di pegunungan hitam, dan Ras Laut Dalam yang dikabarkan menjaga reruntuhan tua."
---
Vilma tampak serius.
> "Kalau Tuhan saja bisa hancur karena cinta... apa kita juga bisa hancur karena rasa yang sama?"
Kilyuna menjawab, lembut, tanpa menoleh.
> "Rasa cinta yang salah bisa menghancurkan. Tapi juga... menyelamatkan."
Putri Elf, yang diam mendengarkan dari balik bayangan, hanya menunduk sambil memegang dada. Dalam hatinya:
> "Kau menyelamatkanku... dan hatiku bersamamu. Tapi kau melihatku hanya seperti adik..."
---