Bab 27 – Cahaya yang Dikhianati
Langit senja di atas Hutan Finrena memerah keemasan.
Di tengah hutan yang bergolak, Erellya terpisah dari Grup Elang.
Tubuhnya bergerak lincah di antara pohon-pohon, tapi wajahnya dipenuhi kepanikan.
"Kenapa... kenapa aku terpisah?! Ini tidak normal...!"
---
Suara langkah berat mendekat.
Erellya berbalik dan membeku.
"Elarion!?"
Tetua elf yang selama ini membimbing mereka berdiri di hadapannya.
Namun kali ini, wajahnya dipenuhi rasa dingin dan pengkhianatan.
Bersama Elarion, sejumlah prajurit bersenjata dan penyihir berbaju hitam mengepung Erellya.
Elarion tersenyum licik.
"Akhirnya kutemukanmu, aset berharga."
---
Erellya menggertakkan giginya.
Dia tahu.
Keterampilannya, Cahaya Ilahi, adalah sesuatu yang bahkan Kekaisaran Timur rela membayar mahal untuk memilikinya.
"Kau..." suaranya bergetar, "Selama ini... semua bantuanmu... hanya tipu daya?"
Elarion mengangguk tanpa rasa bersalah.
"Dunia ini dipenuhi para penguasa rakus, gadis kecil."
"Mereka menginginkanmu... dan aku akan menjadi jembatan menuju kejayaan."
---
Erellya menarik napas dalam-dalam.
Dia sadar.
Dia tidak akan bisa bertahan dengan kekuatan biasa.
Mata Erellya bersinar keemasan.
Tubuhnya berubah menjadi cahaya murni!
Dalam wujud itu, semua serangan fisik dari pasukan musuh menembus dirinya tanpa melukainya.
Tombak, pedang, bahkan panah sihir biasa tidak menyentuh dirinya.
---
"Jangan biarkan dia kabur!" teriak Elarion.
Penyihir bayangan melancarkan sihir tingkat tinggi.
Gelombang kegelapan dan panah jiwa ditembakkan.
Beberapa di antaranya mampu menyentuh tubuh cahaya Erellya, menciptakan riak di permukaan tubuhnya.
"Tch... mereka membawa penyihir jiwa juga!?"
---
Pertarungan pecah.
Erellya memanipulasi cahaya:
Menyilaukan musuh dengan ledakan terang.
Mengkonsentrasikan energi cahaya menjadi bilah tajam untuk menyerang.
Meluncur seperti kilatan petir di antara pepohonan.
Namun...
Keterampilannya belum stabil.
Tubuh cahaya itu bergetar, bergetar semakin liar.
Dia belum mampu mempertahankan bentuk sempurna terlalu lama.
"Bertahan... bertahan sedikit lagi...!"
---
Elarion hanya tersenyum melihatnya.
"Semakin kau menggunakan Cahaya Ilahimu... semakin cepat kau menghancurkan dirimu sendiri, Erellya."
Dan di saat Erellya mulai melemah,
Elarion bersiap mengaktifkan segel jiwa kuno—sihir tingkat purba yang mereka persiapkan khusus untuk menjebaknya.
---
Pertarungan membelah udara beku.
Vilma dan Flezar bentrok dalam dentuman api dan es yang menggetarkan langit.
Flezar, dengan tubuh berlapis es dan sihir pembekuan absolut,
terus mendesak Vilma menggunakan teknik serangan beruntun.
Setiap pukulan, setiap ledakan es yang meletus di sekeliling Vilma, makin memperlambat gerakannya.
Vilma mengerahkan kekuatan naga api, membakar semua es yang mendekat.
Namun—
ada sesuatu yang menggerogoti kekuatannya secara konstan.
Silent Bell.
Sihir kutukan ruang buatan itu masih aktif,
meski pertarungan berpindah dari titik utama penjaraannya.
Udara di sekeliling Vilma terasa berat.
Seperti berjalan di dalam lumpur tak kasat mata.
Mana di tubuhnya terus terhisap perlahan.
Kekuatan api dalam darahnya menjadi berat, tidak secepat biasanya.
---
Flezar menyadari ini.
Ia menyeringai puas, bahkan mengucapkannya keras-keras.
"Aku tidak butuh mengalahkanmu dengan kekuatan.
Cukup menunggu... hingga kau habis."
Dengan napas terengah-engah, Vilma mencoba meningkatkan energi.
Namun percuma — Silent Bell mengunci proses regenerasi mana dan pemulihan stamina.
---
Serangan Flezar semakin brutal.
Tebasan esnya memotong udara dan nyaris mengenai bahu Vilma.
Tembakan naga es kecil menghantam kaki Vilma, menyebabkan luka beku.
Darah hangat mengalir dari tubuh Vilma, menguap menjadi uap merah di udara dingin.
Vilma bertahan, namun tubuhnya mulai gemetar.
Matanya, walau bersinar terang, kini berkedip lemah.
Bahkan gerakan cakar apinya melambat sepersekian detik — cukup untuk membuat perbedaan dalam pertarungan hidup-mati.
---
Flezar mengaktifkan teknik besar.
"Frozen Fang: Thousand Shards!!"
Dari tanah dan udara, ratusan pecahan es kecil meluncur bagaikan hujan jarum,
membentuk kubah maut yang menutup seluruh ruang gerak Vilma.
Dalam keadaan normal, Vilma bisa dengan mudah membakar semua serangan ini.
Tapi sekarang—
efek Silent Bell memperlambat api, menahan denyut kekuatan dalam nadinya.
"Sial..." desis Vilma sambil mengangkat tangan, membentuk barikade api seadanya.
Ledakan kecil terjadi.
Namun jarum-jarum es tetap menembus pertahanannya, melukai kulit dan sisiknya.
Vilma berlutut sejenak, darah mengalir dari mulutnya.
---
Flezar menatapnya dari atas.
"Sudah selesai." katanya, berjalan perlahan sambil membentuk tombak es terakhir.
Namun,
dalam keheningan yang nyaris membeku—
hati Vilma bergejolak.
Suara dari dalam darah naganya, suara nenek moyang yang tidur dalam jiwanya, membisikkan:
"Kau adalah api.
Bahkan dalam hampa, kau tetap membakar."
---
Vilma berdiri kembali.
Tubuhnya goyah.
Namun matanya kembali bersinar emas menyala.
Dia mengangkat tangan.
Api tidak lagi mengalir deras,
tapi setiap tetesan kekuatan yang tersisa dikompresi, dipadatkan,
seperti sebutir bintang kecil di telapak tangannya.
"Aku... belum... kalah!"
---
Flezar menusukkan tombak es!
Namun di saat itu, Vilma melepaskan ledakan api super padat ke arah tombak.
Tombak itu meleleh di udara sebelum sempat menembus tubuhnya.
Vilma menerjang,
menggunakan seluruh kekuatan fisik murni, tanpa bantuan sihir,
dan menghantam perut Flezar dengan pukulan keras, disertai sisa-sisa api dalam darahnya.
Bam!!!
Flezar terpental mundur,
darah beku muncrat dari mulutnya.
---
Namun Vilma juga roboh.
Dampak dari Silent Bell tidak hilang.
Dia jatuh berlutut, tubuhnya basah oleh darah, pandangannya buram.
Dalam hati, Vilma tahu:
Jika pertarungan berlanjut lebih lama,
dia akan kehabisan kekuatan sebelum sempat menghabisi lawannya.
Tubuh Vilma bersinar merah keemasan.
Api berputar di sekelilingnya, membakar udara dan mengguncang bumi.
Nafasnya memburu.
Matanya—yang biasanya tenang—kini bersinar liar tanpa kendali.
Flezar tersentak, merasakan kematian mengintai.
Luka-luka membekas di tubuhnya, efek benturan dari aura liar Vilma membuat organ dalamnya terguncang parah.
---
Di sisi lain, Kilyuna yang berhasil memotong ruang penjara Silent Bell segera bertindak.
"Kita tidak punya waktu!"
Dengan gerakan cepat, ia menggunakan kristal teleportasi darurat,
membawa Fren, Seviel, Yenra, dan Erellya sekaligus.
Dalam sekejap,
cahaya biru membungkus mereka—
dan Grup Elang plus Erellya berhasil mundur keluar dari medan pertempuran.
---
Elarion yang sempat ingin mengejar,
membawa sepasukan unit Asura, terpaksa menghentikan langkahnya.
Mereka semua membelalak ngeri melihat satu fakta:
Vilma berubah menjadi monster api.
---
"Semua serang!" teriak salah satu kapten unit Asura.
Mereka segera mengerahkan sihir, sihir roh, bahkan tombak suci untuk menghentikan Vilma sebelum kekuatannya lepas kendali lebih parah.
Bahkan Flezar, setengah mati, memilih mundur dan menyerang dari kejauhan.
Elarion yang wajahnya penuh kemarahan dan keputusasaan,
ikut menggabungkan kekuatan sihir roh tinggi miliknya.
---
Tetapi...
Semua serangan mental, fisik, sihir tingkat tinggi—tidak berarti apapun.
Vilma mengibaskan sayap apinya.
Satu tebasan membuat sihir mereka berhamburan.
Satu raungan membubarkan formasi pasukan.
Mana Reactor yang aktif dalam tubuh Vilma membuatnya berada di luar kategori makhluk hidup biasa.
---
Bugh!!
Seorang petarung Asura terpental, tubuhnya meleleh hanya karena percikan api.
Graaahh!!!
Seekor monster api berbentuk naga kecil muncul dari tubuh Vilma dan menerkam dua penyihir dalam sekejap.
Ledakan-ledakan terus terjadi.
Unit Asura, pasukan rahasia elit—
hancur satu persatu, seperti anak ayam di hadapan badai.
---
Elarion yang biasanya dingin mulai panik.
"Dia sudah bukan makhluk biasa lagi...! Ini seperti True Dragon kecil...!"
---
Di kejauhan,
Kilyuna yang bersama Grup Elang dan Erellya menatap dari balik hutan,
raut wajahnya tegang.
"Kalau ini terus berlanjut... dunia sekitar akan habis."
Semua tahu.
Mereka harus menemukan cara.
Entah menghentikan Vilma—
atau... membunuhnya.