Bab 33 — Kematian di Tengah Desa
Hutan Elandrial yang dulu tenang kini dipenuhi deru angin yang membawa bau pembakaran, di mana reruntuhan desa elf memercikkan percikan api dari setiap sudut. Melewati medan yang penuh dengan mayat dan kehancuran, Kael berdiri tegak, mata merahnya menatap seluruh puing yang ada. Pertempuran telah berakhir, namun kemenangan itu terasa hampa. Apa yang dia harapkan tidak terwujud, dan rasa kemenangan itu kini tercampur dengan kebingungan.
Di pusat desa, di bawah pohon besar yang telah dipenuhi dengan darah dan abu, terdapat sebuah bangunan yang lebih kecil namun sangat tertutup, dilindungi oleh perisai energi kuat yang masih berfungsi meskipun banyak pertahanan di desa yang telah jatuh. Bangunan ini menyimpan sesuatu yang sangat berbahaya. Sebuah senjata kuno yang dapat menghancurkan seluruh area dalam radius besar.
Tanpa peringatan, dari dalam bangunan itu terdengar suara keras dari mekanisme yang berderak, menggetarkan tanah di bawahnya. Seorang elf muda dengan mata penuh keteguhan dan putus asa, bergerak ke arah perangkat itu dengan cepat. Tangan elf itu gemetar, tapi matanya penuh tekad. Ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan invasi dan menghentikan Kael.
"Semoga ini mengakhiri semua ini," bisik elf itu dengan suara berat.
Tangan elf itu menekan tombol di sisi perangkat dengan kekuatan penuh, dan dalam sekejap, pancaran energi besar menyembur keluar dari perangkat tersebut. Sinar terang menyilaukan yang memenuhi udara, memekakkan telinga dengan ledakan yang menggetarkan seluruh desa. Sebuah ledakan besar yang memecah keheningan yang ada, menghancurkan apa saja yang berada dalam jarak radiusnya.
Di sisi lain desa, Kael terhuyung mundur saat energi ledakan itu menghantam, tubuhnya hampir terseret oleh kekuatan shockwave yang mengerikan. Beberapa pasukannya yang lebih lemah telah hancur begitu saja oleh kekuatan itu, sementara yang kuat berhasil bertahan. Golem yang biasanya tak terkalahkan pun hancur berantakan dalam sekejap, hanya menyisakan reruntuhan.
Di sekitar Kael, hampir 90 persen pasukan yang tersisa tewas dalam ledakan tersebut. Para penyihir dan prajurit yang sebelumnya setia padanya, kini terkapar tanpa bisa melawan. Hanya mereka yang kuat atau mereka yang sempat berlindung di bawah perlindungan sihir yang bisa bertahan.
Dengan segenap kekuatan dan tekadnya, Kael bangkit lagi. Wajahnya berdarah dan tubuhnya sedikit terhuyung, namun kemarahan dalam dirinya membuatnya terus melangkah maju. "Berani sekali mereka," bisiknya dengan suara kasar.
Rylira Erell, pemimpin elf yang sebelumnya telah ia kalahkan, tergeletak tak bergerak di tanah. Semua elf yang tersisa sudah tewas, dan hanya sedikit sisa pasukan yang tergeletak, berlumuran darah dan debu.
Kael menarik napas dalam-dalam, menahan rasa kesal yang mendalam. Wajahnya penuh kebingungan. Dia telah menghabisi desa elf, tapi ada satu hal yang membuatnya cemas. Vilma—yang selama ini menjadi obsesinya—tidak terlihat di sini. Grup Elang yang ia kira akan membantu serangan ini pun tidak tampak di medan pertempuran. Bahkan, Kael semakin curiga bahwa mereka tidak ada di desa elf sama sekali. Tidak ada jejak mereka, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka ikut bertempur.
"Di mana mereka?" Kael merengut, suaranya penuh kekesalan. Vilma yang selama ini menjadi tujuannya, menghilang begitu saja. Ada yang tidak beres. Dan semakin lama, rasa ketidakpastian itu semakin menggerogoti pikirannya.
---
Di tempat lain di desa elf yang hancur, Fyra Censhall, ilmuwan yang terobsesi dengan pengetahuan, berjalan tenang melewati reruntuhan. Wajahnya tak menampilkan ekspresi apapun—seperti biasa, ia lebih tertarik pada apa yang ada di sekitar dan pengetahuan yang bisa ia dapatkan. Fyra tidak memiliki kompas moral yang jelas—ia bukan karakter jahat, namun ia juga tidak terganggu oleh ide-ide kebaikan. Pengetahuannya adalah segalanya baginya.
"Ini... luar biasa," gumam Fyra dengan suara datar, matanya bersinar penuh kegembiraan saat melihat alat-alat canggih yang tergeletak di tanah. Perangkat sihir yang ada di desa elf jauh melampaui apa yang pernah ia pelajari di akademi.
Dengan cepat, ia memeriksa beberapa perangkat dan artefak, meraba setiap detail teknologi kuno yang ditemui. "Betapa luar biasa... Tidak ada yang tahu tentang ini," pikirnya dengan gemetar sedikit, tersenyum tipis saat membuka buku sihir yang tersisa.
Fyra mengambil buku-buku tersebut dan beberapa alat sihir canggih yang belum sempat dihancurkan. Matanya menatap dengan penuh gairah. Dia tidak peduli dengan konsekuensi dari kehancuran ini. Di pikirannya, hanya ada satu tujuan: Pengetahuan.
"Jika ini jatuh ke tangan yang salah, itu bisa menghancurkan semuanya," gumamnya, meskipun kata-kata itu lebih terdengar seperti refleksi diri daripada rasa takut. Fyra benar-benar tidak peduli. Apa yang penting baginya adalah menemukan jawaban—apa pun yang diperlukan.
Fyra melanjutkan memeriksa setiap bagian dari teknologi desa elf. Dia mulai mencatat, membuat salinan dari buku-buku sihir yang hampir rusak. Dalam pikirannya, dia berencana untuk menggabungkan pengetahuan yang ia peroleh dengan pengetahuannya sendiri—mungkin ia akan menciptakan sesuatu yang lebih hebat dari apa yang sudah ada.
"Keberuntungan berpihak pada para peneliti seperti saya," kata Fyra pada dirinya sendiri sambil mengamati bahan-bahan sihir yang ada di sekitarnya. Keinginannya untuk pengetahuan tidak mengenal batas. Tidak peduli dengan kerusakan yang ada, tidak peduli dengan nyawa yang hilang. Baginya, hanya satu hal yang penting: Pengetahuan yang terus berkembang.
---
Dengan pertarungan yang berakhir dan kemenangan yang tercapai, Kael menatap desa elf yang kini tinggal kenangan. Di matanya, tidak ada rasa kemenangan yang semestinya. Ada hanya kebingungan dan kesedihan yang mulai menggerogoti hatinya. Meskipun ia berhasil menghancurkan desa ini, namun tujuan utamanya—untuk menangkap Vilma dan mendapatkan kekuatan untuk hidup lebih lama—belum tercapai.
Kael telah membantai banyak, tetapi Vilma masih menghilang. Dan itu, lebih dari apa pun, membuat Kael merasa semakin cemas.