---
Bab 28 – Amukan Api Naga
Langit malam seolah terbakar.
Kilatan cahaya dan ledakan api terus mengguncang bumi,
sementara Vilma—dengan mata emas gila dan tubuh berselimut api—mengamuk tanpa arah.
Di hadapannya,
pasukan Unit Asura dan Elarion sendiri sudah mengerahkan semua kekuatan terbaik mereka.
---
"Formasi! Jangan mendekat! Serang dari kejauhan!!"
teriak salah satu komandan.
Puluhan sihir roh, anak panah, tombak suci, dan sihir elemen dilontarkan dari segala arah.
Gelombang demi gelombang kekuatan menghujani Vilma tanpa henti.
Tetapi...
Semua itu sia-sia.
---
Sebuah bola api raksasa meledak dari sayap Vilma.
Ledakannya menelan lima orang sekaligus,
meluluhkan armor dan daging mereka seketika.
ZRAASSHH!!
Satu kibasan sayap menghancurkan tanah, membuat lubang besar di lapangan pertempuran.
---
Elarion—salah satu dari sedikit orang yang masih berdiri—mengerutkan alisnya.
Matanya mengamati aura aneh yang mengalir di sekitar tubuh Vilma.
Aura itu...
begitu purba, begitu murni, dan begitu mengerikan.
"Mustahil..." gumam Elarion, tubuhnya gemetar.
"Itu bukan kekuatan manusia...
bukan pula kekuatan naga biasa...
itu—"
"Itu milik para True Dragon...!!"
---
Rasanya seperti berdiri di hadapan dewa penghancur.
Setiap detik Vilma mengamuk,
bentuk fisiknya makin berubah.
Tanduk api tumbuh samar di dahinya.
Ekor naga berapi melambai liar di belakangnya.
Sayapnya bergetar dengan kekuatan destruktif yang sulit dikendalikan.
---
Di antara reruntuhan pertempuran,
di balik bayang-bayang sihir pelindung,
seorang pria berambut kuning berdiri diam.
Kilyuna.
Wajahnya penuh ketegangan, tapi matanya tetap tajam.
"Sedikit lagi..." bisiknya pelan.
Tangannya memegang kristal teleportasi kedua—
cadangan terakhir untuk melarikan diri.
Dia menunggu.
Menunggu Vilma memberikan celah kecil...
sedikit kesempatan...
untuk menyadarkannya.
---
Sementara itu,
pasukan Asura yang tersisa mengerahkan segalanya.
Beberapa petarung menggunakan teknik darah—mengorbankan vitalitas mereka untuk memperkuat serangan.
Beberapa penyihir meledakkan diri, mencoba menghentikan Vilma dengan bom bunuh diri.
Namun hasilnya sama:
Mereka hanya menambah amarah pada monster api itu.
---
"Kita tidak bisa mengalahkannya...!" teriak seorang tentara Asura,
sebelum tubuhnya terbelah oleh cakar energi Vilma.
Elarion, yang kini benar-benar ketakutan,
menyadari bahwa dia telah mengacaukan segalanya.
Mereka seharusnya tidak pernah...
tidak pernah...
memprovokasi makhluk seperti ini.
---
Di kejauhan, Kilyuna mengaktifkan mata birunya yang bercahaya.
Aura dimensinya mengalir.
"Vilma... tunggu aku..."
Saat waktu yang tepat tiba,
ia akan menyerang—
dan mencoba menarik gadis itu keluar dari kegelapan.
Sebelum semuanya benar-benar terlambat.
---
Suasana perang semakin panas.
Vilma, setengah berubah naga, melayang di udara.
Aura Reaktor Mana berkilat liar di sekitarnya, membuat udara bergetar.
Tanah di bawahnya meleleh hanya karena tekanan sihir yang dikeluarkannya.
Flezar, si Naga Es muda, yang awalnya penuh percaya diri,
membeku di tempat.
Matanya melebar ngeri,
jantungnya berdetak kencang tanpa kendali.
"I-ini mustahil..."
"Mana ini... mana dari naga biasa...!!"
Bahkan sebagai naga es berbakat,
Flezar bisa merasakan sesuatu yang asing:
jejak kekuatan True Dragon—
entitas legenda yang bahkan para naga biasa tak berani menentangnya.
---
Silent Bell terus berusaha mengunci Vilma dalam ruang manipulasi,
namun kekuatan liar Vilma mendistorsi struktur ruang itu sendiri.
Silent Bell bergetar hebat di tangan penggunanya.
"Flezar!! Kita harus pergi!!"
teriak pengguna Silent Bell panik.
---
Tanpa ragu, Flezar membuang harga dirinya.
Dia segera meraih pengguna Silent Bell.
"JANGAN LAWAN! KITA KABUR!!"
Dalam sekejap,
Silent Bell memecah ruang di sekeliling mereka,
menciptakan jalur teleportasi darurat.
WUUUUSSHH!!
Flezar dan pengguna Silent Bell menghilang,
meninggalkan sisa pasukan dan Elarion.
---
Elarion—yang masih bertahan dengan sihir roh—
menyadari dirinya telah ditinggalkan.
Wajahnya memucat.
Di depannya, Vilma mengaum,
gelombang api keemasan meledak ke segala arah.
---
Tepat saat Vilma hendak menghancurkannya...
SWOOSH!!
Kilyuna muncul dalam kilatan cahaya,
ekspresinya penuh kemarahan dan kekecewaan.
Tanpa memberi kesempatan,
pedang dimensi Kilyuna menembus tubuh Elarion.
"GRKH—!"
Elarion tersentak.
Matanya membelalak, masih berusaha berkata sesuatu—
namun Kilyuna membungkamnya dengan satu tebasan lagi.
Kepala Elarion terlepas dari tubuhnya,
jatuh ke tanah penuh darah.
---
Kilyuna, dengan suara pelan namun penuh emosi, berkata:
"Pengkhianat..."
---
Medan perang telah kosong.
Flezar dan pengguna Silent Bell kabur.
Elarion, si penghianat, sudah tak bernyawa di tanah berdarah.
Hanya tersisa...
Vilma—yang telah menjadi monster amukan.
Aura panas keemasan membakar udara.
Tanah di sekitarnya retak, meleleh.
Matanya bersinar liar tanpa akal.
Kilyuna berdiri di hadapan Vilma.
Tangannya memegang pedang dimensi dengan erat.
Dia menatap Vilma, rasa sakit jelas terpancar di wajahnya.
---
"Vilma..."
"Kalau kau terus seperti ini... kau akan benar-benar kehilangan dirimu!"
Vilma meraung, suara retakan magma mengiringinya.
Dia tak bisa lagi membedakan kawan atau lawan.
Tanpa pilihan lain,
Kilyuna melompat,
pedangnya membentuk pola dimensi untuk menahan, bukan membunuh.
---
Clang!!
Tebasan pertama berbenturan dengan cakar naga Vilma.
Satu tebasan,
dua tebasan,
tiga tebasan.
Setiap kali pedang Kilyuna bergerak,
cahayanya membentuk jalur-jalur segel ruang.
Kilyuna berusaha membatasi gerakan Vilma,
memaksa energi liar di dalam tubuhnya untuk sedikit demi sedikit menurun.
---
Vilma meraung keras,
api keemasan memancar liar dari tubuhnya.
Satu sayap naga api terbentuk di punggungnya,
menghantam Kilyuna dengan kekuatan brutal.
Duarghh!!
Kilyuna terlempar, darah menetes dari sudut bibirnya.
Namun dia tetap berdiri.
Matanya menatap Vilma dengan keteguhan.
---
"Kalau ini caranya... maka aku akan bertaruh nyawa!"
seru Kilyuna keras.
Dia menancapkan pedangnya ke tanah,
membentuk ruang dimensi pengunci darurat,
khusus untuk menahan Vilma tanpa membunuhnya.
---
Dalam sekejap,
Kilyuna menerobos serangan Vilma,
menahan serangan dengan tubuhnya sendiri.
Tangannya meraih wajah Vilma—
tatapan matanya bertemu langsung dengan mata buas Vilma.
---
"Bangunlah, Vilma!!"
teriaknya, dengan seluruh kekuatan jiwanya.
---
Seketika itu juga,
dalam jiwa Vilma,
sebuah kilasan muncul.
Bayangan teman-temannya.
Bayangan Kilyuna.
Tawa kecilnya.
Kenangan.
Aura liar itu berguncang.
Tubuhnya bergetar keras.
---
Kilyuna menahan napas, darah mengalir dari luka di tubuhnya.
Vilma meraung satu kali terakhir...
Sebelum...
Cahayanya perlahan meredup.
Tubuhnya melemah dan jatuh,
kembali ke wujud manusia.
---
Kilyuna langsung memeluknya erat,
berlutut sambil menahan luka,
sembari membisikkan:
"Kau sudah kembali..."
---