Bab 29 - Cahaya Baru di Tengah Luka
Udara malam terasa berat, seakan-akan seluruh dunia ikut menahan napas. Bekas pertempuran yang baru saja usai meninggalkan tanah yang hangus, bebatuan pecah, dan aroma darah samar.
Di tengah reruntuhan hutan yang nyaris rata, Grup Elang berkumpul. Mereka mengitari tubuh Vilma yang terbaring di atas jubah tipis yang digelar Kilyuna.
"Dia... sudah sadar, tapi tubuhnya masih sangat lemah," kata Kilyuna, sambil mengusap lembut rambut hitam Vilma yang kusut.
Vilma membuka matanya perlahan, pupil emasnya tampak redup. Bibirnya bergerak, namun hanya desahan kecil yang keluar.
"Kilyu...na...?" bisiknya nyaris tak terdengar.
"Aku di sini," jawab Kilyuna, senyumnya lembut meski luka-luka masih tampak di tubuhnya.
Seviel, Fren, Yenra, dan Erelya berdiri mengelilingi mereka. Wajah mereka letih, pakaian mereka compang-camping, dan tubuh mereka penuh perban darurat, namun tatapan mereka dipenuhi kelegaan.
---
Mereka memutuskan mencari tempat perlindungan tak jauh dari lokasi pertempuran. Sebuah gua kecil di tepi sungai menjadi pilihan terbaik. Dengan cepat mereka mendirikan perkemahan sederhana.
Fren duduk sambil membebat luka di lengannya, berwajah masam. "Kalau lagi kayak gini, aku benar-benar pengen makan daging panggang satu ember penuh," gerutunya.
Seviel tertawa kecil. "Kau pikir perutmu lebih penting daripada nyawa kita, Fren?"
"Perut itu bagian dari nyawa, Seviel," balas Fren dengan nada sok bijak, membuat semua orang tergelak.
Bahkan Yenra, yang biasanya pendiam, menyunggingkan senyum kecil sambil sibuk membuat ramuan penyembuh dari herba yang ia kumpulkan.
---
Setelah semua luka ditangani seadanya, suasana sedikit menghangat. Erelya duduk dekat api unggun kecil, menatap Vilma yang bersandar lemah di dada Kilyuna.
"Kita harus bicara soal apa yang baru saja terjadi," kata Erelya dengan suara pelan tapi tegas.
Seviel mengangguk. "Flezar... Silent Bell... dan Elarion. Mereka semua terlalu kuat."
"Dan mereka hanya sebagian kecil dari kekuatan organisasi itu," tambah Yenra, suaranya berat.
Kilyuna mengangguk. "Dan kita... hampir saja dihancurkan."
Semua hening sejenak, merenungi kenyataan pahit itu.
---
"Tapi," kata Erelya, suaranya lebih lembut, "kita juga melihat sesuatu."
Semua mata tertuju pada Vilma.
"Vilma... kau..." Erelya ragu-ragu, lalu melanjutkan, "kau menunjukkan kekuatan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Bukan kekuatan manusia... bukan naga biasa."
Vilma menunduk, wajahnya gelap. "Aku... tidak tahu. Saat itu... aku hanya merasa... marah... dan... aku tidak bisa mengendalikan apa pun..."
Kilyuna menepuk punggung Vilma lembut. "Kau mengaktifkan sesuatu yang mirip dengan 'reaktor mana'... tapi skalanya..."
"Lebih besar dari naga biasa," sambung Seviel.
Yenra, yang jarang bicara, mengangguk. "Bahkan mirip dengan deskripsi True Dragon di legenda elf."
---
Vilma menggigit bibirnya. "Tapi aku... hampir membunuh kalian semua..."
"Hei, hei!" sela Fren dengan cepat, bangkit dan menunjuk dirinya sendiri dramatis. "Kalau aku mati karena teman sendiri, setidaknya matinya keren!"
Semua tertawa kecil, ketegangan yang berat seolah menguap sedikit.
Kilyuna menarik napas dalam-dalam. "Bukan salahmu, Vilma. Yang penting sekarang, kita tahu seberapa bahayanya kekuatanmu. Dan kita akan mencari cara untuk mengendalikannya. Bersama-sama."
Vilma mengangkat pandangannya perlahan, matanya bergetar. "Bersama-sama...?"
Semua anggota Grup Elang mengangguk bersamaan.
"Kau pikir kami akan meninggalkanmu cuma karena kau sedikit... liar?" kata Fren, terkekeh.
"Sedikit?" tanya Seviel, menaikkan alis.
"Oke, oke, mungkin sangat liar," Fren mengangkat tangan seolah menyerah, membuat semua kembali tertawa.
---
Setelah suasana lebih ringan, Kilyuna bangkit dan berdiri di depan mereka semua.
"Aku punya satu permintaan," katanya, suaranya penuh tekad.
Semua diam, menunggu.
"Mari kita semua... jadi lebih kuat. Jauh lebih kuat dari sekarang."
Mata Kilyuna bersinar dengan semangat membara.
"Kita tidak bisa terus lari. Kita tidak bisa terus berharap musuh akan mengasihani kita. Dunia ini keras, dan hanya kekuatan kita sendiri yang bisa melindungi apa yang penting."
Seviel bangkit perlahan. "Aku setuju."
Fren mengacungkan tangan. "Aku ikut!"
Yenra tersenyum tipis dan mengangguk.
Erelya menggenggam tangannya di depan dada. "Aku... aku juga ingin jadi lebih kuat. Untuk melindungi kalian."
Akhirnya, Vilma mengangkat kepalanya, menatap semua teman-temannya satu per satu. Dalam hatinya, sesuatu yang lama terkunci perlahan mencair.
"Aku juga..." bisiknya.
"Aku juga ingin menjadi lebih kuat."
---
Malam itu, di bawah langit berbintang yang redup, di tengah luka-luka dan kelelahan, sebuah tekad baru lahir.
Mereka akan bangkit.
Mereka akan bertarung.
Mereka akan melindungi satu sama lain.
Dan dunia akan menyaksikan, bagaimana cahaya kecil ini akan bersinar, menembus kegelapan.