LightReader

Chapter 13 - Bab 12

"Kepekaan Hati Seorang Istri"

Rumah tangga Arkha dan istrinya, Hana, berjalan dalam kedamaian yang berlandaskan iman.

Hana bukan sekadar istri di atas kertas;

dia adalah sahabat dalam doa,

teman dalam perjuangan,

dan penyejuk dalam badai kehidupan.

Namun perempuan yang kuat agamanya,

juga diberikan Allah sebuah karunia:

hati yang tajam dalam merasakan.

Tanpa perlu banyak kata,

Hana membaca gelisah di mata suaminya.

Ada sesuatu yang bergetar pelan setiap kali nama Naya disebut,

ada tatapan kosong yang kadang menahan kenangan —

kenangan yang tidak pernah sempat mati.

Suatu malam, ketika bintang bertaburan malu-malu di langit,

Hana memecah keheningan.

Dengan suara lembut namun tegas,

ia duduk di samping Arkha, memandang wajah suaminya yang teduh namun lelah menahan rasa.

"Abang..."

sapanya lirih.

"Aku tahu... hati abang menyimpan sesuatu yang belum sepenuhnya bisa dipadamkan."

Arkha terdiam.

Nafasnya terasa berat.

Dibalik tenang wajahnya, ada badai yang berusaha ia jinakkan.

Hana melanjutkan,

"Aku tahu cinta tidak selalu bisa dikendalikan,

sebagaimana takdir yang kita terima dengan lapang dada.

Jika abang merasa...

bahwa Naya adalah bagian dari jalan abang,

aku rela."

Suaranya bergetar.

Ada air mata yang jatuh tanpa dipinta,

bukan karena benci,

tapi karena beratnya mengikhlaskan.

"Aku rela," ulangnya, "asal semuanya tetap dalam batasan yang Allah ridai."

Arkha menggenggam tangan istrinya erat-erat.

Mata lelakinya memerah menahan gelombang emosi yang hampir meluap.

"Hana..."

katanya pelan,

"Aku bukan malaikat. Aku tahu rasaku.

Tapi aku pun tahu bahwa saat ini,

aku belum pantas meminta lebih."

Dia menarik nafas panjang, menatap mata istrinya dengan penuh penghormatan.

"Bagiku, setia itu bukan hanya tentang siapa di sisi kita,

tetapi tentang bagaimana menjaga hati agar tidak menjadi hina di hadapan Allah.

Naya... biarlah tetap dalam doaku,

bukan dalam pelukanku."

Malam itu, mereka berdua menangis dalam doa masing-masing.

Menangis bukan karena kalah,

tetapi karena memilih jalan yang lebih berat:

jalan menahan,

jalan menjaga,

jalan mencintai dalam diam yang mulia.

Di langit, bulan mengintip dari balik awan,

seakan ikut bersaksi bahwa cinta sejati bukan selalu tentang memiliki,

tetapi tentang mengikhlaskan,

tentang menunggu waktu Tuhan dengan penuh sabar dan taqwa.

More Chapters