Bab 13
"Membangun Diri, Menimbang Rasa"
Hari-hari berlalu seperti musim yang enggan beranjak.
Di tengah kesibukan membina pesantren yang kini semakin berkembang,
aku menemukan diriku —
bukan sebagai istri, bukan sebagai bayang-bayang masa lalu,
tetapi sebagai aku yang baru.
Aku belajar berdiri sendiri,
menyulam hari dengan doa,
menenun malam dengan sabar,
membangun jati diri di atas puing-puing kehilangan.
Namaku mulai dikenal.
Bukan hanya sebagai istri almarhum Fathan,
tetapi sebagai Naya —
seorang wanita yang tegar dalam kelembutan,
seorang janda muda yang tetap menjaga marwahnya di tengah badai fitnah zaman.
Dalam perjalanan itu,
datanglah seorang lelaki.
Bukan orang asing di kalangan ulama,
seorang yang punya ilmu, punya pengaruh,
dan punya niat yang luhur:
meminangku.
Lelaki itu, lewat perantaraannya, meminta bantuan Arkha untuk menyampaikan maksud hatinya.
Sore itu, di serambi pesantren yang mulai sepi, Arkha memanggilku.
Dengan suara yang lebih berat dari biasanya,
ia mengawali:
"Naya..."
"Aku diamanahi untuk menyampaikan sesuatu,
sebuah niat baik dari seorang sahabat yang memuliakanmu dalam pandangannya."
Aku mendengarkan dengan tenang,
namun hatiku bergetar perlahan.
Arkha melanjutkan, suaranya pelan, seolah menimbang setiap kata:
"Dia...
bukan lelaki yang sempurna, Naya.
Tak sebaik Fathan dalam hal kelembutan,
tak seanggun Fathan dalam mencintai dengan tenang."
Matanya menatap jauh ke depan,
seakan tak berani menatap mataku langsung.
"Tapi dia berjanji akan berusaha menjadi pakaian untukmu,
seperti doa para kekasih yang saling menutup aib satu sama lain."
Aku menunduk.
Hatiku semakin rapuh mendengar caranya berbicara.
Ada getar yang lebih jujur daripada sekadar lamaran.
Dan di sela-sela kata resminya,
terdengar pula bisikan yang tak terucap:
"Jika aku boleh memilih dunia, aku akan memilih mendampingimu, Naya.
Tapi aku tahu,
aku hanya penjaga dari jauh,
penjaga yang tak pernah berharap lebih dari sekadar melihatmu bahagia di jalan yang diridai Allah."
Namun tak ada satu pun dari bisikan itu yang keluar dari bibirnya.
Semua dikuburnya dalam dada yang luas,
dengan kesabaran seorang lelaki yang tahu:
cinta bukan selalu untuk dimiliki,
kadang hanya untuk didoakan dari jauh.
Aku mengangguk perlahan,
menerima kabar itu dengan lapang dada,
meski dalam hati, ada sesuatu yang terkoyak lagi.
Di bawah langit jingga senja,
kami kembali diam —
diam yang penuh rasa,
diam yang dipagari norma.
Dan di antara jeda itu, aku berbisik dalam hati:
"Ya Allah, tuntunlah hatiku,
agar memilih bukan karena luka,
bukan karena sepi,
tetapi karena Engkau telah menulis takdirku jauh sebelum aku mengenal cinta ini."
---