LightReader

Chapter 12 - Bab 11

"Duka, Amanah, dan Janji yang Tetap Dijaga"

Malam itu, hujan turun tanpa ampun.

Seperti langit yang ikut menangis,

menggiring badai duka ke dalam hidupku.

Fathan...

lelaki yang kucintai dengan keikhlasan penuh,

yang kujadikan tempat bersandar dalam suka dan luka,

telah pergi —

menghadap Tuhannya dalam kecelakaan yang tak seorang pun pernah bisa prediksi.

Dunia terasa redup.

Seluruh pesantren berduka.

Santri-santri menangis dalam sujud panjang mereka,

sementara aku...

aku hanya mampu memandang pusara itu dengan hening yang nyaris membunuhku perlahan.

Dalam hari-hari kelabu itu,

pengurus pesantren berembuk.

Mereka butuh sosok kuat untuk menjaga warisan Fathan —

dan semua mata tertuju pada satu nama: Arkha.

Dengan ilmu agamanya yang dalam,

dengan kharisma yang lembut,

Arkha menerima amanah itu —

bukan untuk merebut,

melainkan untuk menjaga.

Tapi Tuhan menguji kami lebih berat.

Kini, kami bukan hanya sekadar teman lama yang terjebak dalam nostalgia.

Kini, aku seorang janda muda yang rapuh,

dan dia adalah lelaki yang pernah mencintaiku dalam diam,

kini berdiri di sisiku, terlalu dekat, terlalu nyata.

Setiap sore, di serambi pesantren, kami berbincang soal administrasi, program dakwah, pendidikan santri.

Kalimat kami berbalut adab.

Mata kami tak pernah berani bertahan lama dalam tatapan.

Namun jiwa kami tahu — badai rasa itu kembali menderu.

Ada malam-malam di mana aku terisak dalam sujud panjangku.

Bukan karena takut pada cinta itu,

tetapi karena takut pada kelemahanku sendiri.

Arkha pun tahu.

Ia menjaga jarak sekuat tenaganya,

sering mengutus perantara saat perlu menyampaikan sesuatu,

lebih memilih berbicara singkat dan langsung pada intinya.

Suatu sore, di bawah pohon tua halaman pesantren, saat kami menyelesaikan laporan bulanan,

Arkha berkata lirih, hampir seperti berbisik:

"Naya... aku bukan datang untuk mengambil.

Aku datang untuk menjaga.

Menjaga amanah, menjaga kehormatan, menjaga batas yang telah Allah tentukan.

Biarlah hati ini mencintai dalam diam.

Biarlah doa ini yang berbicara, bukan keinginan manusia."

Aku menunduk, air mataku jatuh tanpa suara.

Di antara hujan, duka, dan rasa yang belum padam,

kami memilih untuk tetap setia pada satu hal:

pada janji suci yang lebih besar dari rasa —

janji untuk tetap berada dalam batasan yang Allah ridai.

Karena kami tahu,

cinta yang sejati bukan tentang bersatu,

tetapi tentang bertahan di jalan yang benar,

meski harus berdarah-darah menahan rindu.

More Chapters