LightReader

Chapter 1 - Cahaya di ujung dosa

Langit malam Toki seperti kanvas kelabu, penuh awan berat dan warna lampu kota yang tak pernah padam. Rintik hujan turun dengan malas, menyapu jalanan dan menyamarkan bayangan gedung pencakar langit. Di balik kaca gedung perkantoran, jam digital menunjukkan pukul 23:48. Kantor sudah hampir kosong. Hampir.

Hanya satu kubikel masih menyala.

Takahashi Daigo. 59 tahun.

Karyawan tetap bagian keuangan selama 33 tahun.

Kepalanya tertunduk, dahi hampir menyentuh meja. Jari-jarinya masih mengetik, meskipun gerakannya sudah kacau dan melambat. Layar laptopnya menunjukkan lembar Excel yang tampak seperti labirin angka tanpa akhir. Di sampingnya ada dua kaleng kopi hitam kosong dan sebungkus rokok yang sudah diremukkan.

"Satu kesalahan saja, dan kau tahu akibatnya, Daigo."

Suara itu bosnya, Direktur yamoto masih terngiang-ngiang sejak sore tadi.

Nada penuh tekanan. Tidak ada ruang untuk lelah, apalagi empati.

Daigo mengangkat kepalanya perlahan.

Matanya merah. Tubuhnya gemetar. Lehernya pegal dan pikirannya kabur.

"Aku... hanya manusia, Pak... bukan mesin..." gumamnya lirih, tapi tak ada yang mendengar.

Dengan susah payah ia berdiri, mengambil jas yang sudah lecek dari sandaran kursi, lalu berjalan menuju lift. Setiap langkahnya menuju stasiun terasa seperti menyeret rantai tak terlihat berat dan menyakitkan.

Stasiun kereta malam itu sepi. Ia berdiri di peron dengan kepala tertunduk. Kereta terakhir datang seperti biasa, pintunya terbuka dengan suara mendesing. Daigo naik dan duduk di sudut, jauh dari siapa pun.

Ia membuka ponsel. Tak ada pesan masuk.

Ia membuka galeri foto.

Foto pernikahannya.

Foto anaknya yang tidak pernah lahir karena keguguran.

Foto terakhir orang tuanya, sehari sebelum kecelakaan.

Tangannya menggenggam erat ponsel itu.

"Kalian semua sudah pergi... sedangkan aku masih di sini, begini…"

Suara kereta meluncur cepat seperti menggertak, menyayat keheningan.

"Aku bahkan tak tahu kenapa aku masih bertahan..."

Setelah perjalanan panjang dan menyiksa, ia sampai di apartemennya yang sempit dan suram. Ia membuka pintu, dan seperti biasa, tidak menyalakan lampu. Kegelapan lebih jujur daripada cahaya. Ia menaruh tas di lantai, melepas sepatu tanpa suara, dan menjatuhkan tubuh ke atas kasur.

Matanya menatap langit-langit kusam.

Dingin.

Hening.

Sepi.

Tangannya menyentuh sisi kasur yang dulunya sering ditempati istrinya.

"Kau pernah bilang... aku tidak pernah berubah. Bahwa aku membosankan. Tapi nyatanya... aku berubah. Aku hancur."

Ia menutup matanya. Air mata jatuh diam-diam, membasahi bantal usang yang tak pernah dicuci sejak bulan lalu.

"Kalau waktu bisa diulang… aku ingin memilih ulang semuanya…"

PUKUL 02 : 07

Matanya terbuka.

Keringat dingin membasahi tubuhnya. Nafasnya pendek. Dadanya sesak.

Dan...

Ada bisikan.

Bukan dari luar. Tapi langsung ke pikirannya.

"Apa gunanya bertahan?"

"Tidak ada yang menunggu."

"Kau tahu jawabannya."

Daigo terduduk. Ia menatap cermin kecil di samping lemari pakaian. Wajahnya tampak seperti mayat hidup. Kusam. Tak bernyawa.

"Berapa lama lagi aku harus begini...?"

Bisikan itu semakin kuat. Tak menakutkan, justru... menenangkan.

"Jika kau pergi... rasa sakit ini akan hilang."

Ia berdiri.

Kakinya goyah. Tapi pikirannya tidak.

Langkah demi langkah ia berjalan ke pintu, lalu menaiki tangga darurat yang sunyi. Setiap anak tangga seperti melepaskan satu beban dari pundaknya. Pikirannya tenang. Terlalu tenang.

Sampai di atap.

Angin malam menerpa wajahnya. Langit mulai cerah, bintang-bintang muncul malu-malu di balik awan.

Ia berdiri di tepian pagar, memegang besi yang dingin dan basah.

Matanya menatap ke bawah.

"...Tinggi juga..."

Tangannya mencengkeram besi. Tapi tidak erat. Ia hanya ingin tahu… rasanya seperti apa.

"Ma, Pa… aku teh capek aku izin menyusul ya…"

Matanya terpejam. Nafas terakhir ia tarik pelan.

"Aku capek…"

Dan ia melepas pegangan.

Tubuhnya terjun dari lantai 10. Angin menampar wajahnya. Tapi justru terasa seperti pelukan terakhir dari dunia yang ingin ia tinggalkan.

Namun di tengah kejatuhan itu waktu berhenti.

Segalanya lenyap dalam cahaya putih yang menelan dunia. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada suara. Tidak ada tanah untuk mendarat.

Namun... tiba-tiba.

"Haaah!!"

Daigo terbangun dengan teriakan pelan, napas terengah, jantung berdebar hebat.

Ia terduduk, matanya membelalak. Dadanya naik turun. Hawa dingin menusuk kulitnya, tapi bukan dingin beton malam Toki... ini seperti... udara pegunungan?

Ia memandang sekeliling.

Padang rumput luas membentang, bergoyang ditiup angin. Langit di atasnya gelap, namun dihiasi bintang-bintang besar yang asing. Tak ada bangunan. Tak ada jalanan. Tak ada suara kendaraan. Hanya alam... liar dan murni. Sebuah bulan berwarna biru pucat menggantung di langit malam, lebih besar dari bulan yang pernah ia lihat.

"...Apa ini?" gumamnya.

Tangannya menyentuh tanah. Rumput dingin dan basah menyentuh jemarinya. Napasnya mulai tenang, tapi pikirannya tidak.

"Tunggu... bukankah aku..."

Matanya melebar. Ingatan itu datang seperti tamparan: atap apartemen, angin malam, tubuh yang terjun, dunia yang membeku.

"Aku jatuh… aku seharusnya mati…"

Ia berdiri perlahan, tubuhnya masih gemetar. Ia berputar-putar, mencoba mengenali tempat ini. Tidak ada penjelasan. Tidak ada logika.

"Apa ini... mimpi? Atau neraka?"

Daigo mulai berkeliling, mencoba mengerti apa yang terjadi. Kepalanya penuh pertanyaan, namun tak ada jawaban. Bibirnya tak sengaja mengucapkan kata yang tak dia niatkan.

"apa yang harus aku lakukan sekarang? Argh! apa aku harus membaca panduan cara agar mati secepatnya..."

seperti sebuah desakan yang tak bisa dihentikan.

Dan tiba-tiba, BZZZTTTTT!

Udara di depannya retak seperti kaca, dan muncullah sebuah panel biru transparan di udara. Sebuah layar melayang dengan tulisan bergerak dan suara netral yang mengalun lembut namun terdengar asing, tidak manusiawi.

[SISTEM AKTIF] Selamat datang, pengguna baru. Nama pengguna: [Tidak Terdaftar] Perintah 'Panduan' telah diterima.

Apa yang Anda butuhkan untuk dipandu?

Daigo terkejut dan mundur sedikit. "A-Apa… ini…?"

Layar itu mengikuti gerakannya. Ia mencoba mengedipkan mata, menepis udara, mengucek matanya tetapi panel itu tetap ada.

Silakan nyatakan pertanyaan atau permintaan Anda.

Jantungnya berdetak semakin cepat. Namun rasa takutnya kini berubah menjadi kebingungan yang dalam. Suara itu datar, netral, dan tak menunjukkan niat membuat segalanya terasa seperti permainan aneh.

Ia menelan ludah, lalu akhirnya bertanya:

"...Di mana aku?"

Sistem diam sesaat, lalu menjawab.

Anda berada di dunia alternatif bernama Noctstar. Dunia ini terbagi dalam tiga wilayah kerajaan utama:

Astralis - Kerajaan tempat tinggal para mahluk suci, terdiri dari makhluk-makhluk angel sampai ke ras terkuat di sana yaitu Full Angel, yang menjaga keseimbangan dunia dengan kekuatan ilahi dan teknologi canggih. Kerajaan ini terletak tinggi di atas langit, mengapung di antara awan dengan kota-kota yang memancarkan cahaya terang.

Thalros - Kerajaan manusia yang berkembang di tanah dataran luas, dengan budaya yang berfokus pada ketahanan dan strategi. Thalros dikenal dengan kekuatan militernya yang luar biasa dan kekuatan sumber daya alam yang dimilikinya.

Duskfang - Kerajaan yang berada di wilayah malam, dipenuhi dengan tantangan berat dan makhluk-makhluk yang hidup dalam kegelapan. Duskfang dikenal dengan para petarungnya yang tangguh, serta makhluk-makhluk misterius yang bersembunyi di bayang-bayang.

Tujuan sistem: Membantu Anda beradaptasi, hidup, dan bertahan.

Catatan: Anda belum memiliki nama di dunia ini. Silakan pilih satu nanti.

"Noct...star?" Daigo mengulang pelan.

Angin kembali berhembus pelan, membawa aroma tanah, embun, dan sesuatu yang samar seperti bara api di kejauhan.

Ia melangkah ke depan, mencoba menyentuh panel tangannya menembusnya seperti asap. Sistem itu tampaknya hanya hologram.

"...Dunia lain… ini tidak nyata…"

Namun tidak ada tanda bahwa ini hanyalah mimpi.

Semua terasa terlalu nyata.

Apakah Anda membutuhkan orientasi dunia?

[YA] / [TIDAK]

Daigo menatap layar itu. Opsi berkedip menanti jawabannya.

Ia ragu sejenak. Tapi pada akhirnya, ia bergumam, "...Ya."

Dan begitu ia mengucapkannya, panel itu membesar membuka peta tiga dimensi dari dunia luas yang belum pernah ia lihat.

Gunung hitam menjulang di barat. Hutan bercahaya biru di utara. Sebuah kota melayang di langit timur. Dan di tengah-tengah peta itu... titik kecil bercahaya itu adalah dia.

Dunia Noctstar terbagi dalam tiga wilayah utama:

1. Astralis - Kerajaan langit yang dipenuhi dengan mahluk-mahluk suci, seperti para angel dan ras terkuat yaitu Full Angel yang menjaga keseimbangan dunia dan menyatukan sihir dengan teknologi maju, terletak di atas awan.

2. Thalros - Kerajaan manusia yang menguasai dataran luas, dengan fokus pada keberlanjutan dan kekuatan militer.

3. Duskfang - Kerajaan yang terperangkap dalam kegelapan, tempat yang penuh dengan makhluk mengerikan dan keajaiban malam.

Bahaya: Tinggi.

Harapan Hidup Rata-rata Pendatang Baru: 7 Hari.

Saran: Dapatkan identitas dan perlindungan secepat mungkin.

Daigo hanya bisa menatap kosong.

"...Apa ini semacam... neraka yang dibungkus RPG?" gumamnya lirih.

Namun jauh di dalam hatinya untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun ada sesuatu yang asing terasa muncul.

Daigo menatap layar hologram yang perlahan memudar setelah menampilkan peta dan informasi dasar. Angin malam kembali menyapa tubuhnya. Rerumputan bergoyang pelan di bawah cahaya bulan biru pucat yang menenangkan… namun pikirannya tetap kacau.

"Aku... harus tetap mati…" bisiknya lagi, seakan mencoba menyakinkan dirinya sendiri.

Ia terduduk kembali di tanah, memeluk lutut dan menunduk. Matanya memandangi tangannya yang gemetar. Segalanya masih terasa terlalu aneh, terlalu cepat, terlalu asing.

"Kenapa aku masih harus hidup untuk kedua kali nya...? Bahkan kalaupun ini dunia baru… apa aku harus mulai lagi dari nol? Aku bahkan nggak tau aku siapa…"

Ia menghela napas berat. Dadanya sesak.

"Aku... sedang banyak masalah..." ucapnya pada layar, pelan.

Namun tak ada jawaban.

Tak ada reaksi.

Layar hanya berkedip sekali, lalu hening. Sistem tetap dingin dan netral, tak peduli pada keluhan emosional manusia yang baru saja dilempar ke dunia asing.

Daigo mengepalkan tangan. "Setidaknya berpura-pura peduli, dasar kotak sabun digital..." gumamnya dengan suara kesal.

Namun ia tahu... marah pun tak ada gunanya.

Ia menunduk, membiarkan keheningan menyelimuti dirinya.

Beberapa menit terlewat.

Daigo menarik napas dalam-dalam. Ia menatap langit. Bintang-bintang di sana asing, tapi... indah.

Perlahan, ia mengangkat wajah, dan senyum getir muncul di wajahnya.

"...Yah, mungkin... mungkin ini lebih baik daripada yang sebelumnya."

Ia berdiri perlahan, debu dan rumput menempel di pakaiannya. Ia menggerakkan bahunya, lalu meregangkan tangan.

"Dunia ini… mirip banget sama game RPG yang dulu sering aku mainin waktu kecil…" gumamnya, tatapannya menerawang jauh.

Stat panel, peta, sistem panduan, nama tempat... semua itu terlalu familiar.

"...Kalau begitu... mungkin aku bisa mulai dari langkah yang paling masuk akal."

Ia menatap ke arah sisa panel yang belum menghilang sepenuhnya.

"Sistem."

"Ya?"

"Di mana aku bisa... mendaftar atau... memulai sesuatu? Seperti tempat untuk memulai petualangan, pekerjaan, atau semacamnya."

Panel menyala terang kembali.

[Pertanyaan diterima.]

Tempat pendaftaran pekerjaan dan kontrak tersedia di: [Adventurer's Guild - Cabang Arvenhill].

Jarak dari posisi Anda saat ini: 1.2 kilometer ke arah timur-tenggara.

Estimasi waktu tempuh dengan berjalan kaki: 15 menit.

Catatan: Pendatang baru dapat melakukan pendaftaran sebagai petualang pemula dan akan diberikan starter pack.

Daigo mengangguk perlahan.

"Adventurer's Guild…" katanya, seperti mengulang kata-kata yang sudah lama tak ia dengar.

"Terdengar klasik... tapi setidaknya ada tujuan sekarang."

Ia mengatur napasnya.

Langkahnya mulai bergerak maju, melewati rerumputan dan menuruni sedikit lereng. Langit perlahan mulai menunjukkan rona keperakan di ujung cakrawala, pertanda pagi akan datang.

Langkah Daigo bergema pelan di jalanan tanah berbatu yang mulai terlihat terurus. Pohon-pohon tinggi di sekitar jalan mulai berganti dengan pagar kayu besar yang mengelilingi wilayah luas di hadapannya. Di kejauhan, bangunan batu kokoh berdiri tegap, dengan bendera hijau keemasan yang berkibar tertiup angin.

Kerajaan Thalros.

Salah satu dari tiga wilayah utama di dunia ini selain Astralis dan Duskfang.

Gerbang tinggi Kerajaan Thalros berdiri menjulang di hadapan Daigo. Dinding batu raksasa membentang, dihiasi bendera biru tua dengan lambang singa emas yang mencolok. Dua penjaga berjubah baja berdiri tegak di depan pintu gerbang, tombak mereka bersilangan.

Saat Daigo hendak melangkah masuk, salah satu dari mereka mengangkat tangan.

"Tunggu dulu. Kau siapa?"

Daigo terdiam sejenak. Ia menunduk sedikit. "Aku... hanya orang yang baru sampai ke tempat ini."

Penjaga lain menyipitkan mata. "Nama?"

"Aku... tidak punya nama. Atau... mungkin belum," jawab Daigo pelan.

Kedua penjaga saling pandang, lalu yang lebih tua di antaranya bertanya, "Kau dari luar kerajaan?"

Daigo mengangguk. "Aku baru... tiba. Tidak ada identitas atau dokumen."

Penjaga muda itu mencibir kecil. "Hmm, pendatang aneh lagi. Belakangan ini banyak yang muncul tiba-tiba seperti runestone sedang aktif aktif nya."

Penjaga tua menatap Daigo dengan tatapan tajam namun tak mengintimidasi. "Baiklah, kau bukan ancaman. Tapi ingat, pengawasan tetap berlaku. Jangan buat masalah."

Tanpa bicara lagi, mereka membuka jalan.

"Selamat datang di Thalros," gumam si penjaga muda sebelum kembali ke posisi semula.

Daigo melangkah perlahan melewati gerbang... dan begitu melewatinya, dunia lain seolah terbuka di hadapannya.

Jalanan lebar berlapis batu granit dipenuhi orang. Toko-toko berjajar di kiri dan kanan, masing-masing penuh warna dan kehidupan. Seorang gadis berjubah merah muda menawarkan bunga sihir di pinggir jalan, sementara seorang dwarf tua berteriak di depan toko senjata:

"Pisau perak! Efektif buat vampir dan pacar kalian yang nyebelin!"

"Jangan kau hina istriku!" teriak seorang pria besar dari seberang jalan, membuat tawa pecah di antara pejalan kaki.

Di pojok jalan, seorang bard sedang memainkan seruling sambil membuat sekelompok anak kecil menari dengan riang. Beberapa pasangan muda berjalan bergandengan tangan, ada juga sekelompok petualang yang sedang berseru-seru soal rencana dungeon mereka.

Daigo melangkah pelan. Matanya menyapu semua ini dengan pandangan kosong. Begitu ramai... begitu hidup. Tapi terasa jauh darinya.

"Sistem," bisiknya, "di mana lokasi guild?"

[Lokasi Guild terletak 600 meter ke arah timur dari gerbang utama. Ikuti jalan utama, lalu belok kiri saat melihat patung naga.]

Daigo menatap ke arah jalan. "Baik," gumamnya. Ia melangkah, mengikuti instruksi.

Selama berjalan, ia nyaris tertabrak oleh pedagang yang tergesa-gesa membawa kereta penuh barang. "Maaf! Barang impor dari Astralis harus sampai pagi ini!" teriak si pedagang sambil berlalu.

Seorang beastkin bertelinga serigala terlihat sedang menawarkan jasa sebagai pengawal. "Jamin aman dari bandit! Cuma 3 silver per hari! Gratis senyuman!"

Beberapa anak remaja yang tampaknya baru lulus pelatihan petualang sedang pamer pedang mereka di tengah kerumunan. "Lihat, ini rare drop dari Dungeon!" "Gila, bro! Kapan ngajak gua?!"

Daigo hanya mengamati mereka, tak berkata apa-apa. Sesekali ia menunduk, menghindari tatapan, merasa bukan bagian dari semua ini. Tapi dalam hatinya, perlahan tumbuh rasa penasaran... dan mungkin, sedikit harapan.

Tak lama kemudian, ia sampai di sebuah bangunan besar dengan plakat kayu bertuliskan.

[GUILD PETUALANG THALROS – Cabang Thalros]

Daigo berdiri di depan pintu besar guild itu. Ia menghela napas panjang.

"Baiklah... mari kita lihat apa yang akan terjadi."

Dan dengan langkah mantap, ia mendorong pintu itu untuk masuk ke dalam.

Begitu Daigo mendorong pintu besar itu, suara riuh langsung menyambutnya.

Suara gelas beradu di pojok bar. Meja kayu besar di tengah ruangan dikelilingi petualang dengan berbagai ras seperti manusia, beastkin, bahkan satu makhluk bertanduk dari ras Dragonkin yang sedang tertawa terbahak-bahak.

"—Lalu, bayangin aja! Dia malah jatuh ke jebakan sendiri!" teriak seorang pria berambut merah sambil tertawa keras.

"Ha! Itu si Marzen, kan? Pantas. Otaknya kayak slime busuk!" timpal dwarf bertato yang duduk di sebelahnya.

"Jangan hina slime!" celetuk seorang gadis muda dengan tongkat sihir, wajahnya cemberut. "Slime biru peliharaanku lebih pintar dari Marzen!"

Sementara itu, di dekat papan quest, seorang pemuda berjubah hitam sedang mempromosikan party-nya.

"Pencari dungeon Tier-C! Butuh tanker dan healer! Minimal level 1000! Ayo buruan sebelum slot penuh!"

Di sisi lain, dua beastkin kucing saling kejar sambil tertawa.

"Aku duluan ambil quest memancing!"

"Bukan! Kau udah gagal 3 kali, giliran aku!"

Seorang wanita elf yang tampak anggun menghela napas panjang di sudut ruangan. "Manusia sungguh ribut... tapi entah kenapa, ini menyenangkan."

Di atas ruangan, terlihat platform kecil dengan sekelompok bard memainkan musik santai, menciptakan suasana hangat di tengah hiruk pikuk itu semua.

Daigo berdiri kaku. Matanya menelusuri semua wajah yang tampak begitu hidup, masing-masing dengan cerita dan tujuannya sendiri.

[Arah ke meja resepsionis: 8 meter di depan.]

Daigo mengangguk kecil dan berjalan ke arah yang dimaksud.

Meja kayu panjang dengan ukiran lambang guild berdiri kokoh. Di belakangnya, seorang wanita dengan rambut pendek abu-abu dan pakaian semi formal berdiri tegak, matanya tajam tapi wajahnya ramah.

"Selamat datang di Guild Petualang Thalros," ucapnya. "Namaku Fraz. Apa yang bisa kubantu?"

Daigo menatapnya beberapa detik sebelum menjawab. "Aku... ingin mendaftar. Menjadi petualang."

Fraz mengangguk. "Baik. Kau pendatang baru, ya?" Tatapannya turun, memperhatikan pakaian Daigo yang sederhana dan tanpa lambang status. "Tidak ada identitas, bukan?"

Daigo hanya mengangguk pelan.

"Tak masalah," ujar Fraz sambil mengambil selembar kertas kristal kecil. "Ikuti aku. Kita harus melakukan sedikit... proses pengenalan."

Mereka berjalan melewati lorong samping. Beberapa petualang yang mereka lewati saling menyapa atau bercanda.

"Woy, Fraz! Kamu rekrut member baru lagi ya? Jangan lupa kenalin kalau dia cakep!"

Fraz hanya melambaikan tangan tanpa menoleh. "Dia mahluk biasa. Bukan tipemu."

"Tch, padahal aku butuh partner dungeon dan partner hidup!"

Saat mereka sampai di pintu kayu berukir simbol lingkaran sihir, Fraz mengetuk dua kali. Pintu pun terbuka secara otomatis, menguak sebuah ruangan yang diterangi cahaya biru lembut.

Ruangan itu berbentuk bundar dan luas, dindingnya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang memancarkan cahaya samar. Di tengah-tengahnya berdiri sebuah altar batu yang berpendar, tampak seolah hidup. Di sekeliling altar berdiri empat penyihir berjubah putih, mata mereka terpejam, seolah tengah menjaga sesuatu yang sakral.

Fraz menoleh pada Daigo dan menjelaskan dengan tenang.

"Tempat ini disebut Altar Penegasan. Semua pendatang baru yang ingin mendaftar sebagai petualang wajib melewatinya. Altar ini akan membaca status dasar milikmu seperti level, ras, element, dan sedikit tentang afinitas alammu."

Daigo mengerutkan alis. "Jadi... seperti sistem identifikasi?"

Fraz mengangguk. "Kurang lebih begitu. Dunia ini memiliki sihir yang bisa membaca hakikat jiwa, bukan sekadar nama yang kau sebutkan. Tak perlu khawatir, prosesnya aman dan tidak menyakitkan. Tapi... jika kau berbohong tentang siapa dirimu, altar akan menolaknya."

Ia menatap Daigo dengan pandangan tajam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kau tidak terlihat seperti penyusup, jadi aku rasa takkan ada masalah."

Daigo menatap altar itu, sedikit gugup tapi penasaran. "Jadi aku hanya perlu... berdiri di atasnya?"

"Benar," jawab Fraz. "Biarkan altar mengenalmu. Setelah itu, kami akan membuatkan identitas resmimu."

Daigo mengangguk dan perlahan melangkah ke tengah ruangan. Cahaya biru dari altar seolah merespons kehadirannya, menyambutnya dengan kilauan halus. Ia mengambil napas panjang dan melangkah naik, berdiri tepat di pusat altar.

Para penyihir membuka mata mereka bersamaan, dan sihir mulai berputar di sekeliling altar seperti pusaran ringan yang bercahaya.

"Proses dimulai," ujar salah satu penyihir. "Jiwamu akan dibaca... dan kebenaranmu akan terungkap."

Daigo menatap kosong ke arah langit-langit ruangan saat cahaya dari altar perlahan meredup. Tidak ada rasa ya tidak geli, tidak sakit, bahkan tidak ada getaran sedikit pun di tubuhnya. Ia menatap tangannya sendiri, lalu menoleh pada Fraz dengan bingung.

"...Sudah?" tanyanya ragu.

Fraz tersenyum kecil, seolah sudah terbiasa dengan reaksi seperti itu. "Yup, kau bukan yang pertama yang kaget. Tapi itu memang normal. Altar hanya membaca, bukan mengubah. Kau tidak akan merasa apa-apa."

Daigo hanya mengangguk pelan, masih belum sepenuhnya percaya. Namun ia tak punya alasan untuk membantah. Ia turun dari altar, lalu mengikuti Fraz yang melangkah santai kembali ke arah pintu keluar.

Mereka berjalan kembali melewati lorong dan tiba di ruang utama guild. Suasana di dalam tampak lebih riuh daripada sebelumnya. Para petualang dari berbagai ras dan usia sibuk dengan urusan masing-masing.

Fraz menunjuk ke arah meja resepsionis. "Tunggu sebentar di sana, ya. Aku akan siapkan dokumen identitas awalmu. Jangan ke mana-mana."

Daigo mengangguk. Fraz pun berbalik dan melangkah cepat ke arah sebuah ruangan di belakang meja. Pintu kayu menutup perlahan di belakangnya.

Daigo menarik napas panjang dan duduk di bangku dekat dinding. Matanya menyapu sekeliling, mengamati hiruk-pikuk kehidupan guild.

Di salah satu sudut ruangan, sekelompok petualang terlihat sedang bercanda sambil meneguk minuman dari cangkir kayu.

"Hei! Kau masih belum bayar makanan waktu di benteng Gunor, tahu!" seru seorang dwarf berjanggut lebat pada temannya, seorang beastkin bermata cerah.

"Ehh, masa sih? Bukannya waktu itu kau bilang traktir?" balas si beastkin sambil tertawa lebar.

"Traktir pantatmu! Itu karena kau lupa inventorimu lagi, dasar!" Mereka tertawa bersama, suara mereka membaur dengan suasana hangat ruangan.

Tak jauh dari sana, sepasang elf muda tengah berdiri dekat papan misi, membaca dengan serius.

"Yang ini… misi pengawalan karavan ke arah selatan. Tapi jalurnya melewati Duskfang…" gumam si pria.

"Berarti ada kemungkinan diserang iblis..," jawab wanita di sampingnya. "Kita perlu partner tambahan. Mau kita coba rekrut di lantai atas?"

Di sisi lain, dua orc tampak sedang berdiskusi sengit dengan seorang pedagang tua yang membawa banyak gulungan peta.

"Kau bilang tempat itu penuh artefak kuno!" bentak salah satu orc.

"Ya! Tapi kalian malah pulang bawa kepala kadal raksasa!" seru si pedagang. "Bukan itu maksudku dengan 'kuno'!"

Sementara itu, sekelompok pemula mungkin seusia Daigo tampak gugup berbicara dengan seorang instruktur tua berkumis lebat.

"Kalau kalian tidak bisa kerja sama, mending urungkan niat jadi party. Dunia luar tidak seperti yang kau bayangkan!"

Daigo hanya bisa menyandarkan punggung, melihat semua itu dengan tatapan kosong namun sedikit tertarik. Entah mengapa… suasana seperti ini terasa akrab. Riuh, kacau, tapi hidup. Seolah-olah tempat ini benar-benar memiliki denyutnya sendiri.

Ia menyipitkan mata ke arah pintu di mana Fraz tadi masuk. "Berapa lama sih nyiapin identitas…" gumamnya pelan.

Namun, untuk pertama kalinya sejak kedatangannya, bibir Daigo menampakkan senyum tipis. Ia mulai merasa… sedikit lebih tenang.

Pintu di belakang meja resepsionis terbuka perlahan, dan Fraz muncul kembali sambil membawa sebuah lembaran kristal tipis di tangannya.

"Terima kasih sudah menunggu," ucapnya ramah sambil berjalan mendekat. "Pendaftaranmu sudah selesai. Sekarang kau sudah terdaftar secara resmi di sistem Thalros sebagai petualang pemula. Kau bisa mengeceknya sendiri melalui panel sistem milikmu."

Daigo mengangguk. Dengan instruksi sederhana dari Fraz, ia membuka panel sistem yang terhubung langsung ke identitasnya. Cahaya lembut menyelimuti udara di depannya, membentuk antarmuka semi-transparan yang hanya bisa dilihat olehnya.

Di hadapannya, muncul sebuah data id nya.

╔═════════════════════╗

・❖・THALROS ID・❖・

╚═════════════════════╝

✦ Name : -

"Title : -

✦ Age : 20 Year

"Gender : Male

✦ Race : Angel

"Class : -

✦ Element : Light

"Rank : H

✦ Level : 0

"Party : -

✦ Skill:

• Skill 1: -

╔═══ ❖ • ◦ ✤ ◦ • ❖ ═══╗

⬜⬜⬜⬜⬜⬜⬜⬜⬜

╚═══ ❖ • ◦ ✤ ◦ • ❖ ═══╝

Fraz menjelaskan, "Kau saat ini berada di Rank H, pangkat terendah untuk petualang pemula. Rasmu adalah Angel, ras yang seharusnya tidak ada disini… Tapi sistem tidak memberikan class secara otomatis. Kau bisa memilih class-mu sendiri nanti—entah itu warrior, mage, tank, atau bahkan yang lebih khusus jika kau menemukan jalur evolusi tertentu."

Ia menunjuk ke bagian yang bertuliskan "Name: -" dan tersenyum kecil. "Dan kau juga bisa memilih namamu. Nama yang akan dikenal di dunia ini."

Daigo memandangi panel itu. Untuk sesaat, pikirannya kosong. Nama… class… semua terasa asing namun penuh kemungkinan. Ia teringat pada hidupnya sebelumnya yang kelam, sepi, dan selalu terasa berat. Dunia lamanya tidak memberi banyak pilihan. Tapi di sini… bahkan identitas pun ia bebas menentukan.

Ia menutup matanya sebentar, mengatur napas.

"Aku mungkin bukan siapa-siapa dulu… Tapi di dunia ini…" gumamnya dalam hati, "…aku bisa menjadi sesuatu. Aku akan menjadi full angel!"

Jarinya perlahan bergerak, dan ia mengetikkan nama yang tiba-tiba muncul begitu saja di benaknya.

ANGELIX

Begitu ia mengonfirmasi, panel menyala sejenak, lalu memperbarui dirinya.

✦ Name : Angelix

Fraz tersenyum saat melihatnya. "Angelix, ya? Nama yang bagus. Cocok dengan auramu."

Daigo hanya menangguk pelan, menatap namanya sendiri yang kini tertulis secara resmi. Rasanya aneh… tapi juga menyenangkan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama… dia merasa memiliki kesempatan untuk memulai dari awal.

Angelix tersenyum kecil dan menundukkan kepalanya sedikit sebagai tanda terima kasih.

"Terima kasih, Fraz. Kau sangat membantu," ucapnya tulus.

Ia pun membalikkan badan dan hendak berjalan menuju papan quest yang terlihat cukup ramai di sisi kiri guild. Para petualang berkumpul di sana, beberapa berteriak mempromosikan party mereka, yang lain berdebat soal misi mana yang layak diambil, dan ada juga yang hanya menatap papan sambil menggigit pena dengan wajah bingung.

Namun, sebelum Angelix bisa melangkah lebih jauh.

"Angelix!" panggil Fraz dari belakang meja.

Ia menoleh dengan cepat. "Ada apa?"

Fraz memberi isyarat dengan tangannya. "Tunggu sebentar. Aku hampir lupa. Aku punya sesuatu untukmu."

Tanpa menunggu balasan, Fraz pun masuk kembali ke ruangannya. Angelix hanya bisa berdiri di tempat, menunggu sambil kembali melihat sekeliling.

Suasana guild tetap sama hidup, ramai, dan penuh hiruk-pikuk. Beberapa orang tengah bercakap seru.

"Aku bilang juga jangan ambil quest dari desa itu! Hantunya bukan cuma satu!"

"Tapi bayarannya tiga kali lipat, bro! Worth it banget!"

"Hei, siapa yang butuh Healer? Kami butuh satu orang lagi buat misi Tier G!"

"Yah… aku baru diputusin partner-ku. Jadi kalau ada yang butuh Archer, panggil aku…"

Angelix tersenyum kecil. Dunia ini terasa nyata terlalu nyata bahkan. Tapi ada kehangatan tersendiri dalam keramaian seperti ini.

Tak lama kemudian, Fraz keluar kembali, kali ini membawa sebuah kantung kecil berbahan kulit dengan lambang guild di permukaannya. Ia menyerahkannya pada Angelix.

"Nah, ini untukmu," katanya. "Inventori milikmu. Meskipun terlihat kecil, ini adalah kantung dimensi. Bisa menampung barang-barang jauh lebih banyak dari ukurannya."

Angelix menerima kantung itu dan memeriksanya dengan penasaran. Saat ia membuka sedikit, ada cahaya lembut dari dalamnya menandakan ruang penyimpanan yang tak terlihat oleh mata biasa.

"Terima kasih… lagi," ucap Angelix sambil mengangguk. Ia benar-benar merasa diperlakukan baik di tempat ini.

Fraz mengangguk ramah. "Gunakan dengan bijak, ya. Kantung itu sangat penting untuk petualang."

Angelix pun menggantungkan inventori tersebut di pinggangnya dan kembali berjalan, kali ini benar-benar menuju papan quest. Keramaian masih sama, tapi langkahnya kini lebih mantap.

Langkah kakinya membawa dia ke sebuah area yang agak lebih terbuka di bagian dalam guild. Di sana berdiri sebuah papan quest besar, penuh dengan kertas warna-warni dari berbagai rank yang tertempel acak. Hiruk-pikuk suara para petualang membuat atmosfer terasa sangat hidup.

"Wah! Quest rank D tentang penjinakan wyvern! Siapa yang mau ikut?" teriak seorang pria tinggi dengan pedang besar di punggungnya.

"Lupakan, idiot! Itu butuh minimal empat orang dan penyihir air. Kita cuma berdua!" sahut temannya sambil memukul kepala pria itu.

Beberapa petualang muda terlihat berdiri sambil membaca, ada yang hanya melihat-lihat sambil ngemil, dan bahkan ada dua orang yang saling saling dorong berebut quest.

"Eh, itu punyaku duluan!"

"Mana ada! Tanganku udah nempel duluan!"

Angelix hanya berdiri terdiam, menyaksikan keramaian itu. Di benaknya, ia berpikir,

"Benar-benar seperti game RPG yang dulu sering kumainkan..."

Suara sistem tiba-tiba muncul di dalam kepalanya,

[Rekomendasi: Telusuri bagian bawah papan, area khusus quest pemula H-Rank.]

Angelix pun mengangguk kecil dan mulai menyusuri sisi bawah papan. Ia membungkuk perlahan, membaca satu per satu kertas quest yang terpasang.

"Terlalu rumit... ini pun level 5..." gumamnya.

Di dekatnya, dua gadis petualang tampak sedang berdiskusi sambil tertawa.

"Hei, ini lucu. Ada quest cari kucing bernama 'Pudding' yang suka kabur ke atap pasar."

"Kita ambil aja, yuk! Kayaknya seru!"

Angelix terus melihat, sampai akhirnya matanya menangkap selembar kertas lusuh di pojok kanan bawah. Tidak menarik perhatian siapa pun. Ia mendekat dan menarik kertas itu perlahan kemudian membaca nya.

╔═════" QUEST FORM "═════╗

❖ Judul Quest: Pemetikan Tumbuhan

❖ Jenis Quest: Pengumpulan

❖ Level Dan Rank Rekomendasi: H 0+

❖ NPC Pemberi Quest: Mira, Ahli Herba

❖ Deskripsi:

• Mira membutuhkan beberapa tumbuhan dari Hutan Zerda untuk membuat ramuan obat.

❖ Tujuan:

Kumpulkan Herba Elysium (x1)

Kumpulkan Bunga Midnight (x1)

Kumpulkan Akar Serpentis (x1)

❖ Lokasi: Hutan Zerda, dekat desa Ardin

❖ Hadiah:

• 50 bronze

• +1 level

❖ Catatan Tambahan:

• Tanaman hanya muncul saat malam hari

• Hati-hati dengan hewan liar

╚══════════════════════╝

"Tanaman yang hanya muncul di malam hari... Kedengarannya mudah, tapi bisa berbahaya juga."

Tanpa pikir panjang, Angelix menggulung kertas itu dan menyimpannya ke dalam saku kecilnya. sistem pun langsung mengaktifkan suara notifikasi lembut di pikirannya.

[Quest Diterima: Pemetikan Tumbuhan.]

Ia melirik langit saat keluar dari pintu guild. Langit malam sudah menghampar luas, dihiasi bintang-bintang kecil dan cahaya rembulan pucat. Jalanan kota mulai sepi, hanya sisa beberapa orang lewat dan suara denting logam dari toko pandai besi yang hendak tutup.

Dengan langkah ringan tapi penuh waspada, Angelix meninggalkan area kota, melewati gerbang luar, menuju arah Hutan Zerda tempat yang disebutkan dalam quest. Pepohonan menjulang hitam di kejauhan, tertiup angin malam yang lembab dan membawa aroma tanah basah.

"Hutan Zerda… dekat desa Ardin, ya. Aku harus cepat. Tanaman ini mungkin hanya muncul dalam waktu tertentu."

Sesampainya di tepi hutan, Angelix berdiri sejenak. Suara malam begitu hidup di sana banyak serangga, burung hantu, dan gelegak samar dari dalam semak-semak. Ia menggenggam tali tasnya erat, mata fokus menatap jalan masuk.

"Baiklah… ini langkah pertama menuju hidup baru."

Angelix pun melangkah masuk ke dalam bayangan hutan.

Ia melangkah perlahan masuk, menyusuri jalan setapak samar yang tertutupi daun-daun gugur. Cahaya rembulan cukup membantunya melihat, tapi tetap saja ia harus berhati-hati. Di salah satu semak rendah, matanya menangkap kilau kehijauan yang sangat halus.

"Hmm?" Angelix mendekat, berlutut, dan menyibak daun-daun pelan. "Herba Elysium…" ucapnya sambil tersenyum kecil. "Daunnya seperti yang dijelaskan."

Ia mencabutnya dengan hati-hati, lalu memasukkan tanaman itu ke dalam kantung inventori kain yang disangkutkan di sabuknya.

"Aku suka bau daun ini… agak mint," katanya sambil mencium tangannya yang terkena getah daun. "Oke, satu selesai."

Ia berdiri dan mengedarkan pandangan. "Kalau Bunga Midnight… katanya lebih ke dalam. Biasanya tumbuh di tanah terbuka."

Langkah demi langkah ia ambil. Sambil berjalan, sesekali ia berbicara sendiri kebiasaan yang membuatnya tetap fokus dalam kesunyian malam.

"Dulu waktu di desa, aku sering dimarahi karena mencabut tanaman obat sembarangan. Kalau Ibu tahu aku sekarang jadi pemetik resmi, pasti ketawa…"

Beberapa menit kemudian, ia tiba di sebuah area terbuka kecil. Tanahnya lembab, dan di tengah-tengahnya tumbuh satu bunga berwarna biru gelap kehitaman, seperti menyerap cahaya di sekitarnya.

"Bunga Midnight…" Angelix berjongkok, mengamati kelopaknya yang seolah memancarkan aura dingin. "Indah sekali. Tapi juga agak menyeramkan."

Ia menarik napas dan memetiknya perlahan, memastikan akar tidak ikut tercabut. Ia menyimpannya hati-hati, lalu berdiri sambil meregangkan punggung.

"Sisa satu lagi… akar Serpentis. Di dekat air, ya…"

Ia menajamkan pendengaran. Samar-samar terdengar suara air mengalir. Dengan hati-hati, ia mengikuti sumber suara itu, melewati beberapa pohon besar dan akar yang menjulur seperti perangkap alami.

Begitu ia melihat aliran sungai kecil, senyum tipis muncul di wajahnya.

"Aku suka suara air begini. Tenang... tapi tetap hidup."

Ia menyusuri tepian sungai, memperhatikan akar-akar yang menjalar di antara batu dan tanah basah. Di salah satu sisi, ia menemukan sejenis akar berwarna ungu gelap dengan pola seperti sisik.

"Ini dia. Akar Serpentis." Ia berjongkok, lalu menarik akar itu perlahan. "Harus hati-hati, getahnya bisa bikin gatal."

Setelah berhasil mencabutnya, Angelix memeriksa isi kantungnya. Ketiga tanaman sudah ada.

"Herba Elysium… Bunga Midnight… dan Akar Serpentis… Misi selesai," ucapnya pelan. "Gak nyangka, ini rasanya… puas, walau cuma ngumpulin tanaman."

Ia menatap langit malam yang kini mulai tertutup awan.

"Baiklah… saatnya kembali ke desa Ardin. Mira pasti masih terjaga."

Dengan langkah tenang, Angelix menyusuri kembali jalan yang tadi ia lewati. Hutan yang gelap tidak lagi terasa asing ia telah menaklukkannya, dengan tenang dan tanpa suara.

Langkah kaki Angelix menapaki jalanan desa yang sepi. Lampu-lampu minyak di sisi jalan perlahan meredup, hanya menyisakan cahaya rembulan sebagai penerang. Kantung kecil berisi tiga tanaman yang ia kumpulkan bergoyang pelan di sisi sabuknya, seiring langkahnya yang ringan namun mantap.

"Semoga dia masih terjaga…" gumamnya sambil berhenti di depan sebuah rumah kecil dari kayu dan batu yang dikelilingi oleh pot-pot tanaman herbal. Aroma daun kering dan alkohol samar tercium bahkan sebelum Angelix mengetuk pintu.

Ia mendorong pintu perlahan, yang tidak dikunci dan langsung terbuka dengan suara kreekk pelan. Cahaya kuning temaram dari lampu minyak di dalam rumah menyambutnya. Dan di sana, Mira si ahli herba, terbaring setengah menyamping di atas sofa, dengan botol anggur setengah kosong di tangannya. Pakaian yang ia kenakan tampak longgar, selendang bahunya telah tergelincir, memperlihatkan pundaknya yang telanjang dan sebagian dada. Wajahnya merah, matanya setengah terbuka.

Angelix berhenti di ambang pintu, membeku beberapa detik, lalu menunduk sedikit dan batuk kecil.

"Ehem… Mira?"

Mira mengangkat kepalanya dengan mata yang sayu dan senyum mabuk yang lebar. "Oooh? Heiiii… Angelix-chan~ Kau datang...!"

Angelix tetap berdiri di tempatnya, sedikit kaku dan agak terkejut bagaimana dia bisa tahu nama nya?tapi itu bukan hal yang sekarang. Ia berusaha fokus menatap wajah Mira, bukan ke arah pakaian yang hampir jatuh dari tempatnya.

"Aku… sudah menyelesaikan permintaanmu," ucap Angelix, suaranya tetap tenang walau sedikit tegang. Ia mengangkat kantung berisi tanaman. "Herba Elysium, Bunga Midnight, dan Akar Serpentis. Semua lengkap."

Mira terkikik kecil, lalu duduk sambil hampir terjatuh ke depan. Ia menyambar botolnya, menyesap sedikit, lalu menjulurkan tangan.

"Biar kuperiksa~" katanya, lalu meraih kantung dari tangan Angelix dengan gerakan agak goyah.

Angelix menghela napas, lalu menatap ke arah meja di ruang itu. Berantakan. Ada beberapa botol kosong, alat-alat herbal yang tertinggal, dan buku resep yang terbuka di halaman tentang.

Mira membuka kantung dan mencium aroma setiap tanaman satu per satu, lalu tertawa pelan. "Ini bagus~ kau benar-benar menemukan semuanya… bahkan Akar Serpentis yang biasanya licin dan susah dipetik… keren sekali~"

"Terima kasih," kata Angelix pelan. "Kau… seharusnya istirahat. Alkohol bukan obat terbaik untuk tubuhmu."

"Heh, siapa bilang aku mabuk?" Mira berdiri dengan satu tangan masih memegang botol, lalu hampir terpeleset sebelum bersandar ke dinding. "Aku hanya… merayakan hidup~"

Angelix menghela napas lagi dan melangkah masuk. Ia menarik selendang Mira yang hampir jatuh dan menutupkannya ke pundaknya.

"Kalau kau pingsan malam ini, siapa yang akan meracik obat besok?"

Mira hanya tersenyum bodoh. "Mungkin kau?"

Angelix menoleh dan menatap Mira serius, tapi tidak mengatakan apa-apa. Lalu ia melihat meja kecil di sudut ruangan dan mengambil satu gulungan perkamen kecil dari atasnya.

"Ini untuk hadiahnya," kata Angelix, meletakkan gulungan itu di atas meja Mira, lalu berbalik. "Aku akan kembali ke guild."

Saat Angelix mulai membuka pintu, suara Mira terdengar dari belakang.

"Terima kasih, Angelix chan~"

Angelix tidak membalas, hanya menunduk sedikit dan melangkah keluar, menutup pintu perlahan di belakangnya. Di luar, malam masih menyelimuti desa, tapi bagi Angelix, satu malam lagi telah berlalu dengan tenang.

PAGI HARI DI GUILD

Angelix melangkah kembali ke dalam guild dengan langkah yang mantap. Pagi telah tiba, dan meskipun udara dingin menyelimuti, hatinya terasa lebih ringan. Setelah melewati jalan setapak menuju guild, ia segera mendekati meja Fraz yang terletak di dekat pintu masuk.

Fraz sedang sibuk menulis sesuatu di atas kertas, tampak serius dengan tugasnya. Namun, begitu mendengar langkah kaki Angelix, dia mengangkat kepala dan tersenyum kecil.

"Ah, kembali lagi, Angelix. Apa kabar? Sudah selesai dengan tugasnya?" tanya Fraz dengan nada ramah.

Angelix mengangguk. "Ya, saya sudah berhasil mengumpulkan semuanya."

Fraz mengangguk puas dan mulai memeriksa layar hologram yang melayang di hadapannya. Layar itu menampilkan berbagai data dengan cepat. Angelix sudah tidak asing lagi dengan sistem ini, yang kini menjadi bagian dari kehidupannya di dunia ini.

"Bagus. Biarkan aku periksa dulu," kata Fraz sambil menatap layar hologram tersebut dengan serius.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan, hanya suara ketikan ringan dari jari Fraz yang terdengar. Angelix berdiri di sana, menunggu dengan sabar.

Setelah beberapa saat, Fraz akhirnya menatap layar hologram dan tersenyum puas. "Ya, benar. Tugasmu sudah selesai, Angelix. Semuanya tercatat."

Fraz melirik kembali ke Angelix. "Sekarang, kamu bisa mengambil hadiahnya langsung dari layar mu."

Angelix mengangguk, Dalam sekejap, layar hologram muncul di hadapannya, menampilkan rincian quest yang baru saja diselesaikan.

[Quest Terkirim]

[Tugas: Pemetikan Tumbuhan - Status: Selesai]

[Hadiah: 50 Bronze, +1 Level]

"Hadiah sudah diterima."

Suara sistem itu terdengar, dan layar hologram menghilang seiring dengan pengumuman tersebut.

Angelix membuka matanya.

Fraz tersenyum melihat ekspresi Angelix

Angelix hanya mengangguk, merasa lebih percaya diri sekarang setelah menyelesaikan quest pertamanya. Hadiah yang diterimanya, baik itu bronze maupun level tambahan, membuatnya semakin yakin bahwa ia bisa menghadapi tantangan lebih besar lagi.

"Terima kasih, Fraz. Aku akan mencari lebih banyak tugas."

Fraz tersenyum lebar. "Tentu saja. Aku yakin kamu akan terus berkembang. Kembali kapan saja jika butuh informasi lebih lanjut."

Angelix mengangguk, kemudian berbalik dan menuju papan quest lagi dengan langkah yang lebih mantap, siap menghadapi tantangan baru yang akan datang.

More Chapters