LightReader

Chapter 9 - Chapter 9: Cahaya di Balik Badai

Malam itu, Elvoreth berselimutkan kabut tipis, membiaskan cahaya festival yang baru saja berakhir.

Di kota Virelia, penginapan tempat Yamada dan pasukannya beristirahat terasa lebih hidup dari biasanya: tawa, obrolan, bahkan beberapa suara lenguh lelah terdengar dari lorong-lorong.

Namun di satu sudut yang sunyi, Yamada berdiri sendiri di balkon lantai tiga, menatap kosong ke langit malam.

Angin malam meniup rambut hitamnya yang berantakan.

Tangannya menggenggam erat gagang pedang yang kini tergantung di pinggangnya — pedang yang ia menangkan dari Kael — sebagai lambang kemenangan kecilnya hari ini.

Tapi di dalam hatinya, badai bergejolak.

"Aku menang... tapi kenapa rasanya seperti baru mulai?"

---

Momen di Balkon: Percakapan yang Mengubah Segalanya

Langkah pelan terdengar.

Rika, mengenakan kimono santai berwarna merah muda, berjalan mendekat.

"Sendirian saja?" tanyanya, suaranya pelan seperti angin.

Yamada menoleh sedikit, tersenyum kecut. "Kalau aku jawab 'mau sendiri', kau akan pergi?"

Rika tersenyum kecil, menahan tawa. "Tidak."

Ia duduk di sebelahnya, cukup dekat hingga pundak mereka hampir bersentuhan.

Untuk beberapa saat, mereka hanya diam. Hanya suara dedaunan dan desiran angin menemani mereka.

Rika menatap langit berbintang.

"Aku dulu berpikir... tak ada pria yang layak kuikuti. Semuanya sombong. Lemah. Mudah menyerah."

Ia menarik napas panjang.

"Tapi kau... aneh. Kau bodoh, keras kepala... tapi tetap berdiri, bahkan saat semua orang berharap kau jatuh."

Yamada menghela napas. "Aku juga manusia. Aku takut. Aku lelah."

"Tapi kau tetap berjalan."

Sunyi.

Lalu perlahan, Rika mengulurkan tangan, menyentuh jari Yamada.

Sentuhan kecil itu, sederhana... tapi membuat jantung Yamada berdegup liar.

"Kalau kau jatuh..." bisik Rika, menatapnya dalam. "Aku akan menangkapmu."

Mata mereka bertemu.

Untuk sesaat, dunia di sekeliling mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua.

Wajah Rika mendekat — hanya beberapa inci dari bibir Yamada.

Yamada memejamkan mata...

Tiba-tiba, CRASH!

Pintu balkon terbuka lebar.

Mirai, mengenakan piyama bergambar kucing, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut.

"K-kalian...!!"

Suasana canggung membeku.

Yamada langsung berdiri kaku, Rika hanya tersenyum santai, seolah-olah tak terjadi apa-apa.

"Ayo masuk, bocah nakal," kata Rika sambil tertawa kecil.

Yamada hanya bisa menggaruk kepalanya, wajahnya merah padam.

---

[Sistem Update: Eternal Mission]

Malam itu, saat semua orang sudah tidur, suara sistem bergema di kepala Yamada.

> [Sistem Gacha diperbarui!]

[Mode Baru: Eternal Mission Aktif!]

[Misi tingkat dunia tersedia!]

Hologram biru melayang di hadapannya.

Kini misi bukan lagi tentang 'tugas harian' kecil.

Ini adalah tantangan besar, menentukan nasib dunia Elvoreth.

Di layar, tiga pilihan misi muncul:

1. Menyelamatkan Kota Arventus dari Invasi Monster

2. Membebaskan 50 Ratu yang Disegel

3. Menaklukkan Menara Ilusi hingga Lantai 100

Hadiah?

Heroine tingkat SSR++ hingga SSS, gadis legendaris, ratu, putri ilahi — mereka semua akan bergabung dengannya bila berhasil.

Yamada mengernyit.

Semua misi itu berat... tapi "membebaskan 50 ratu" terasa paling mendesak secara moral.

"Aku tidak bisa membiarkan mereka terus terperangkap."

"Ini bukan cuma tentang menambah pasukan. Ini tentang menyelamatkan mereka."

Yamada mengkonfirmasi pilihannya.

> [Misi "Liberate the 50 Queens" telah diterima!]

[Batas waktu: 180 hari]

---

Persiapan Besar: Memilih Tim

Keesokan paginya, Yamada mengumpulkan semua heroine yang ia miliki sejauh ini.

45 wanita berdiri di aula besar penginapan — beraneka ragam: penyihir, pendekar, assassin, pendeta, bahkan monster gadis yang lucu.

Suasana ribut.

Beberapa heroine saling berbisik, sebagian melirik Rika dan Yamada dengan tatapan penuh rasa ingin tahu (dan sedikit iri).

Aiko, si pendeta berambut pirang, membuka diskusi.

"Kita tidak bisa mengirim semua orang sekaligus. Terlalu mencolok."

Nara, si tomboy berambut pendek, angkat tangan.

"Bagaimana kalau dibagi tim kecil? Kayak regu tempur gitu!"

Satsuki, assassin bermata tajam, mengangguk. "Tiga tim. Infiltrasi, serang, dan dukungan."

Yamada berpikir keras.

Ini bukan sekadar memilih tim kuat. Ini soal keseimbangan kekuatan, loyalitas, dan kerja sama.

Setelah diskusi panjang, akhirnya disusun:

Tim Infiltrasi: Mirai (pemimpin), Satsuki, Lily, dan dua gadis beastkin.

Tim Serang: Rika (pemimpin), Nara, Yui (penyihir ledakan), dan Shizu (ksatria berat).

Tim Dukungan: Aiko (pemimpin), plus healer, buffer, dan archer.

Yamada sendiri akan berkoordinasi di lapangan, fleksibel berpindah tim.

---

Musuh di Balik Bayangan: Pertemuan Rahasia

Di reruntuhan kastil di sisi lain benua, Kael merangkak berdarah-darah, berlutut di hadapan sosok misterius.

"Maafkan aku... aku gagal merebut Rika," katanya dengan suara penuh kebencian.

Sosok bertudung itu — Sang Grandmaster Klan Gelap — berbicara dengan nada menyeramkan.

"Kegagalanmu membawa peluang," katanya.

"Kita akan mengirim... para Empat Raja Kegelapan."

Empat siluet muncul dari kegelapan: masing-masing auranya begitu kuat hingga membuat udara bergetar.

Kael tersenyum licik.

"Biarkan bocah itu mencicipi neraka sesungguhnya."

---

Menuju Petualangan Baru

Dua hari kemudian, Yamada dan tim elitnya berdiri di gerbang kota.

Semua telah dipersiapkan: peta, peralatan, rencana perjalanan.

Mirai mendekatinya sambil berdeham.

"Hey, jangan terlalu lengket sama Rika doang ya. Yang lain juga butuh perhatian," katanya sambil melirik genit.

Rika langsung mendelik.

"Kalau mau perhatian, buatlah dirimu berguna dulu."

Gadis-gadis lain cekikikan, membuat suasana sedikit lebih ringan.

Yamada menarik napas dalam-dalam.

"Aku akan menyelamatkan mereka semua... tidak peduli berapa banyak musuh menghadang."

Dengan langkah mantap, Yamada memimpin timnya keluar dari gerbang kota, menuju dunia luar yang penuh bahaya.

Perjalanan baru...

Musuh baru...

Dan mungkin, cinta baru.

More Chapters