Bab 19
"Akad yang Sederhana, Cinta yang Disempurnakan"
Pagi itu, langit seolah bersujud bersama bumi.
Embun menetes lebih lambat,
angin berhembus lebih lembut,
seolah semesta turut mendoakan hari yang penuh sakral ini.
Di sebuah aula kecil milik pesantren,
tanpa hiasan megah, tanpa pesta berlebihan,
hanya sehamparan sajadah yang membentang,
Arkha berdiri dengan mata yang penuh air syukur.
Di sebelahnya, duduk istri pertamanya —
wanita yang hatinya telah dipoles oleh keikhlasan luar biasa.
Di pangkuannya, anak mereka, bocah kecil dengan mata sejernih telaga,
menggenggam erat tangan ibunya.
Naya datang, berselendang putih sederhana.
Tak ada gaun bertabur permata,
hanya senyum pasrah yang lebih indah dari segala perhiasan dunia.
Saat penghulu membacakan ijab qabul,
suasana menegang,
seperti detik-detik ketika langit menahan napasnya.
Dengan suara mantap,
Arkha mengucap:
> "Saya terima nikahnya Naya binti Ahmad...
dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan hafalan surat Ar-Rahman."
Serentak, gema takbir melambung ke langit.
Wajah Naya basah oleh air mata,
bukan air mata penyesalan,
melainkan air mata seorang hamba
yang merasakan langsung belaian rahmat dari Tuhannya.
Istri pertama Arkha mendekat,
memeluk Naya dengan pelukan seorang saudari,
bukan rival.
Dalam bisikan lembut yang hanya didengar mereka berdua, ia berkata:
> "Mari kita saling menggandeng,
bukan untuk merebut cinta seorang lelaki,
tapi untuk bersama-sama menuju surga-Nya."
Naya menangis di bahu wanita itu.
Tangis yang melepaskan seluruh beban hatinya,
menjadi jernih, menjadi ringan.
Anak kecil itu lalu menghampiri Naya,
dengan polosnya memanggil,
"Umi Naya..."
Dan saat itulah,
hati Naya benar-benar yakin,
bahwa cinta ini bukan sekadar untuk dunia,
tapi untuk menggapai ridho Allah bersama-sama.
Tak ada pesta.
Tak ada denting musik dunia.
Yang ada hanya dzikir lembut, doa-doa panjang,
dan langit yang tersenyum menurunkan keberkahannya.
---