LightReader

aku yang seorang penyendiri didekati oleh siswi populer dikelasku

HZevenzzz_
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
12
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - cahaya dalam mimpi

Chapter 1 - Cahaya dalam Mimpi

Aku membuka mata perlahan, merasakan sinar matahari pagi yang mulai menyelinap masuk melalui celah tirai. Awalnya, aku hanya terdiam sejenak, merasakan ketenangan yang ada di sekelilingku. Mungkin karena mimpi tadi, yang membuatku merasa sedikit terjaga dari tidurku.

Aku menarik selimut dan melangkah turun dari tempat tidur. Kaki-kakiku terasa berat, seperti ada sesuatu yang menahan, tapi aku mencoba untuk tetap melangkah. Suasana di rumah sangat tenang—hanya suara detak jam dinding yang terdengar jelas.

Aku menuju kamar mandi. Setiap langkahku terasa sunyi, seolah dunia di luar kamar masih tertidur. Air dingin yang mengenai wajahku membuatku terbangun sepenuhnya. Aku menatap refleksi diriku di cermin—rambut acak-acakan, mata sedikit bengkak karena kurang tidur. Aku tak tahu kenapa, tapi wajah di cermin itu selalu terasa asing bagiku, meskipun aku sudah berulang kali melihatnya.

Setelah selesai, aku keluar dari kamar mandi dan menuju dapur. Aku membuka lemari es, mencari makanan yang bisa kubawa. Sarapan seadanya, cuma roti bakar dan susu. Aku duduk di meja makan dengan piring kosong di depan, mencoba mengisi pikiranku dengan sesuatu selain kekosongan yang terus menggelayuti.

Sejak… aku tidak tahu kapan, hari-hariku terasa seperti ini—sepi dan tanpa semangat. Tidak ada kenangan yang mengikatku dengan tempat ini, tidak ada tawa atau percakapan hangat. Aku merasa seperti sudah terbiasa dengan hidup yang sunyi, di mana semuanya berjalan tanpa meninggalkan jejak.

Setelah selesai sarapan, aku mengemasi tas sekolah dengan langkah-langkah yang sudah otomatis. Buku, alat tulis, dan beberapa catatan, semuanya sudah menjadi bagian dari rutinitasku yang tak pernah berubah. Tak ada yang istimewa, tak ada yang berbeda.

Aku melangkah keluar rumah, menutup pintu belakang dengan hati-hati. Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya, meskipun langit tampak sedikit mendung. Langkahku ringan, namun pikiranku tetap mengawang, seperti ada yang hilang, tapi aku tak tahu apa.

Perjalanan menuju sekolah biasanya hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit, namun hari ini rasanya seperti berjam-jam. Setiap langkah terasa lebih lama, seolah ada sesuatu yang mendorongku untuk berpikir lebih banyak tentang segala hal—tentang apa yang aku lupa, tentang hari-hariku yang selalu berjalan tanpa arti.

Aku melewati jalan setapak yang biasa. Pohon-pohon besar di sisi jalan bergoyang pelan karena angin, sementara suara kendaraan yang lewat terdengar samar. Aku lebih sering berjalan sendiri, tidak banyak teman yang menemaniku. Bahkan, di sekolah pun, aku jarang berbicara dengan siapa pun selain teman-teman dekat.

Tiba-tiba, aku merasa seperti ada seseorang yang mengamatiku dari kejauhan. Aku menoleh, tetapi hanya melihat seorang ibu yang sedang mengantar anaknya ke sekolah. Mereka tampak seperti keluarga yang bahagia, berbeda sekali dengan hidupku yang penuh kesendirian. Aku berusaha menepis pikiran itu dan kembali fokus ke jalan.

Tak lama setelah itu, sekolah mulai terlihat di kejauhan. Bangunan besar dengan lapangan hijau di depannya sudah dekat. Langkahku semakin cepat, entah mengapa rasanya aku ingin segera sampai ke sana. Mungkin itu hanya karena rutinitas, atau mungkin karena ada sesuatu yang menarik perhatian hari ini.

Saat aku memasuki gerbang sekolah, suasana di dalam cukup ramai. Kelas sudah mulai penuh, dan suara teman-teman sekelasku terdengar mengisi lorong-lorong. Aku berjalan menuju kelas dengan langkah yang biasa, tanpa banyak perhatian dari siapa pun. Sambil melangkah, aku mulai mendengar bisikan-bisikan tentang murid pindahan baru. Kabarnya, dia seorang cewek, dan sepertinya sangat populer. Aku tidak terlalu peduli, sejujurnya.

Saat pelajaran pertama dimulai, wali kelas masuk dan membawanya—siswi pindahan itu. Penampilannya benar-benar mencolok. Rambut hitam panjang, wajah cantik, dan senyum lembut yang entah kenapa terasa familiar. Dan yang lebih mengejutkan...

"Silakan duduk di bangku kosong di sebelah Alif."

Aku menoleh kaget. Dia? Di sebelahku?

Saat ia berjalan mendekat, matanya tertuju padaku. Senyum itu makin lebar.

"Halo, Alif! Lama nggak ketemu!"

Aku mengernyit. Aku tidak mengenalnya. Tapi dia seolah yakin sekali kalau dia tahu siapa aku. Kelas langsung riuh, semua orang menatapku dengan ekspresi heran. Tapi aku hanya diam. Aku... bingung.

Pelajaran pun dimulai, tapi pikiranku sibuk memutar ulang kejadian tadi. Siapa dia sebenarnya?

Seakan lupa tentang apa yang baru saja terjadi, tidak, mungkin lebih tepatnya mereka melupakan diriku dan kejadian barusan. Mereka sibuk ingin mengenal dan berteman dengan gadis pindahan itu.

Dan di penghujung hari, saat langit berubah jingga, aku masih belum menemukan jawabannya.

Sejujurnya aku sedikit lega mereka sudah melupakannya. Tapi... siapa sebenarnya gadis bernama Tiana itu?

---

Aku melangkah keluar dari kelas dengan perasaan yang campur aduk. Hujan yang turun begitu deras seolah menambah beban di pundakku. Seperti ada sesuatu yang mengganjal di hati, namun aku tak bisa menjelaskannya. Semakin aku berusaha mengabaikan perasaan itu, semakin besar rasa tidak nyaman yang menggelayuti diriku.

Langkahku terhenti sejenak saat aku melihat langit yang terus menggelap. Pemandangan itu seolah menggambarkan apa yang aku rasakan—kegelapan yang menyelimuti pikiranku. Biasanya, aku akan merasa lebih tenang saat sendirian, berjalan tanpa tujuan di jalanan sepi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang mengganggu.

Aku melirik ke sekeliling, melihat teman-temanku yang sudah pulang lebih dulu. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya mereka seperti sudah jauh dariku. Aku memilih untuk berjalan cepat, berusaha menjauh dari keramaian. Keheningan hanya terpecah oleh suara hujan yang jatuh menghantam aspal, sementara pikiranku berlarian ke tempat yang entah.

Namun, saat aku sampai di pintu gerbang sekolah, perasaan aneh itu kembali muncul. Tiana—gadis yang sejak pagi mengganggu pikiranku—ada di sana, berdiri di tengah hujan, menatapku dengan tatapan kosong yang sulit aku artikan.

Aku berhenti, berdiri beberapa langkah darinya. Rasanya, aku ingin berkata sesuatu, namun kata-kata itu seolah terhenti di tenggorokan. Mengapa aku merasa seperti ini? Mengapa hatiku terasa berat saat melihatnya berdiri begitu? Apakah karena aku merasa bersalah? Ataukah ada hal lain yang tak bisa kujelaskan?

Dengan langkah hati-hati, aku mendekatinya. Hujan semakin deras, namun aku tetap melangkah. Ketika aku sampai di sampingnya, aku bisa merasakan betapa dinginnya udara di sekitar kami. Namun, ada kehangatan yang muncul seiring aku berada di dekatnya. Sebuah kehangatan yang aku tak bisa pahami.

"Kenapa kamu di sini?" aku bertanya pelan, mencoba membuka percakapan meski suaraku nyaris tenggelam oleh gemuruh hujan.

Tiana menoleh padaku dengan senyum tipis. "Aku menunggumu. Aku tahu kamu pasti akan keluar," jawabnya dengan suara lembut yang terdengar penuh harapan.

Aku hanya bisa terdiam, mencerna kata-katanya. Rasanya, ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa dia bisa begitu yakin akan aku? Padahal, aku bahkan tidak tahu siapa dia sebenarnya. Namun, ada satu hal yang jelas—semenjak dia muncul di hidupku, segala sesuatunya menjadi lebih rumit.