LightReader

Chapter 17 - Jejak Darah di Bayangan Abyssum

"Musuh terburuk bukanlah yang kau lihat, melainkan yang kau lupakan pernah ada." – Doktrin Rahasia Abyssum

Kabut ungu dari serangan Lyzael masih menggantung di udara saat Edwin membelah dimensi menara, tubuhnya meluncur keluar dari gerbang spiritual Menara Ilyria dengan terengah. Ia jatuh di hutan tua di kaki gunung Felmora, jauh dari reruntuhan menara yang kini mengeluarkan sinyal energi tak stabil.

Edwin tak sempat memeriksa luka. Nafasnya berat. Matanya menatap kosong pada dedaunan hijau yang bergoyang pelan di angin, namun pikirannya terjebak pada satu nama:

Lyzael.

Ia belum pernah melihat sosok dari Faksi Abyssum secara langsung sebelumnya. Sebagian besar informasinya datang dari catatan Void Sanctum—dan mereka semua memperingatkan hal yang sama: jika Lyzael muncul, kehancuran akan mengikuti.

Namun apa yang dilakukan Lyzael di Menara Ilyria? Apa yang dia cari?

Seketika, Edwin menyadari sesuatu yang jauh lebih mengerikan.

Menara Ilyria bukan target utama—dirinyalah yang diburu.

Sambil menenangkan napas, Edwin mengaktifkan teknik pelacakan spiritual. Cahaya biru memancar dari kedua matanya, memindai jalur energi sisa dari bentrokan di menara. Garis samar ungu mengarah ke timur laut—arah reruntuhan Kota Altherra, kota tua yang dahulu menjadi pusat riset kultivasi... dan markas tersembunyi Abyssum.

Tanpa ragu, ia melompat dari cabang ke cabang, membelah hutan menuju Altherra.

 

Sementara itu, jauh di bawah reruntuhan kota Altherra, Lyzael berdiri di atas altar melingkar. Di sekelilingnya, puluhan kultivator Abyssum bermeditasi dalam lingkaran ritual, membentuk simbol mata terbalik dengan energi ungu membara.

Di tengah altar, sebuah peti batu tua terbuka sedikit. Di dalamnya, bersemayam Fragmen Takdir—sepotong artefak dari era awal Arkos yang dipercaya dapat memengaruhi kehendak dunia itu sendiri.

Lyzael tersenyum. Rambut keperakannya memantulkan cahaya magenta ritual.

"Akhirnya... dia keluar dari bayang-bayang. Pewaris Void yang legendaris," bisiknya.

Di belakangnya, seorang kultivator Abyssum bersujud. "Apakah kita lanjutkan fase kedua, Komandan?"

"Belum," jawab Lyzael dingin. "Biarkan dia datang. Takdir harus menyentuh luka lamanya sebelum ia benar-benar jatuh."

Ia menatap langit-langit gua, dan di sana, coretan-coretan kuno mengisahkan peperangan antara Void dan Abyssum, antara Keseimbangan dan Kekacauan.

Lyzael menyentuh simbol Void di dinding, dan bibirnya bergerak pelan.

"Waktumu sudah dekat, Edwin. Pilihan yang kau pikir milikmu… ternyata milik kami."

Edwin tiba di tepian Altherra saat langit mulai gelap. Kota itu tak lagi bersisa kejayaan. Pilar-pilar runtuh, bangunan tenggelam dalam tanah, dan hawa kematian menyelimuti sekitarnya.

Namun langkahnya tak ragu.

Ia menuruni celah bebatuan yang mengarah ke dalam tanah, menuju ruang bawah tanah tempat energi ungu terasa semakin kental. Di tengah gua batu yang retak, ia melihat altar. Ia melihat Lyzael.

Dan Lyzael melihatnya kembali, seperti menanti tamu yang terlambat datang ke jamuan maut.

"Selamat datang, Edwin Voidwalker," sapa Lyzael tenang.

Edwin menggertakkan gigi. "Apa yang kau lakukan di sini?"

Lyzael mengangkat satu alis. "Aku hanya mengembalikan yang seharusnya milik kami. Takdir bukan milik satu pihak, Edwin. Dan kau... terlalu lama diam."

Energi di sekitar altar mulai bergetar. Fragmen Takdir bersinar terang, menciptakan gema suara-suara dari masa lalu yang bercampur: suara ibunya, suara Edwin kecil, bahkan jeritan ayahnya yang tak pernah ia kenal.

Edwin melangkah maju.

"Kalau ini soal takdir… maka aku akan menulisnya sendiri."

Lyzael tersenyum lebar.

"Katakan itu setelah kau selamat dari ini."

Ia menjentikkan jari.

Dari sisi altar, muncul dua sosok berjubah: makhluk buatan dari teknik kultivasi terbalik. Mereka bukan manusia lagi, melainkan entitas setengah roh yang dibentuk dari trauma dan kemarahan para kultivator yang gagal naik tingkat.

 

Edwin bersiap. Ia menarik napas, lalu mengaktifkan teknik Void Surge, membentuk dua bilah cahaya biru dari kedua tangannya.

Pertarungan pun pecah.

Gelombang energi membentur dinding gua, membuat puing beterbangan. Langit-langit mulai runtuh perlahan saat Edwin melompat, menebas satu makhluk, tapi dinding spiritual mereka menyerap sebagian besar serangan.

Lyzael hanya menonton, seperti seorang maestro yang menikmati pertunjukan dari orkestra kehancuran.

Namun, Edwin tidak sendiri.

Tiba-tiba, ledakan cahaya putih muncul dari pintu masuk gua. Sosok berjubah merah tua berlari masuk, dengan tanda spiral api di dadanya.

Althea!

"Sori terlambat," katanya, melempar bola api ke satu makhluk yang mengejar Edwin.

Mereka berdiri berdampingan, bahu ke bahu.

Edwin menoleh. "Bagaimana kau tahu aku di sini?"

Althea tersenyum miring. "Peta Void Sanctum bilang, kalau kau keras kepala, pasti ke tempat paling berbahaya."

Mereka bertarung bersama. Teknik api Althea menyatu dengan jurus Void Edwin menciptakan ledakan spiral biru-merah yang menembus pertahanan makhluk-makhluk Abyssum.

Namun Lyzael hanya mundur, menghilang ke dalam bayangan ritual sambil membawa Fragmen Takdir bersamanya.

"Kita akan bertemu lagi," suaranya menghilang bersama kabut.

Ketika pertempuran usai, altar runtuh dan Fragmen Takdir telah hilang.

Tapi Edwin tahu satu hal:

Perang telah dimulai.

Dan Abyssum, dengan segala rahasia masa lalu dan ambisinya, tidak akan berhenti sampai takdir Arkos dibakar habis.

More Chapters