LightReader

Chapter 7 - Bab 7-Misi pertama

Suara deru angin pagi menyapu lembut halaman pelatihan di samping rumah Arkas. Di tengah hamparan rumput yang basah oleh embun, Reno mengayunkan pedangnya dengan konsentrasi tinggi. Nafasnya teratur, peluh menetes dari dahinya. Setiap ayunan disertai bayangan wajah-wajah masa lalu yang terus membayanginya.

"Hup!" Ayunan terakhir diselesaikannya dengan satu langkah ringan ke depan. Ia menahan posisi sejenak, lalu menghela napas panjang dan menurunkan pedangnya.

"Cukup untuk pagi ini," gumamnya sambil menyeka keringat.

Ia berjalan menyusuri jalan setapak desa yang telah menjadi rumahnya selama dua tahun. Beberapa anak kecil menyapanya, dan Reno hanya tersenyum kecil sambil mengangguk. Ia tak banyak bicara pagi itu, pikirannya melayang entah ke mana.

Tiba-tiba, suara tangisan memecah ketenangan. Tangis lirih yang dipenuhi kecemasan dan ketakutan.

Reno langsung berlari ke arah suara itu. Langkahnya ringan, penuh ketegangan. Di tikungan rumah kayu yang penuh bunga, sudah berkumpul banyak warga. Termasuk Arkas, yang berdiri tegap dengan tangan bersedekap.

"Nenek Risha..." bisik salah satu warga.

Reno mendekat, pandangannya langsung tertuju pada seorang wanita tua yang terbaring lemah di atas ranjang yang dibawa ke luar rumah. Di sekelilingnya, keluarga sang nenek menangis tertahan. Di antara mereka, seorang dokter berjubah putih dan seorang penyihir tua berjanggut panjang berdiri dengan raut wajah muram.

"Apa yang terjadi?" tanya Reno pelan kepada Arkas.

Arkas menoleh sekilas. "Penyakit yang langka... dan bukan hanya itu, ada sihir jahat yang menyertainya."

Dokter itu berkata sambil menghela napas, "Aku tak bisa menyembuhkannya... bukan karena tak mampu, tapi aku tak punya bahan utamanya."

"Apa yang dibutuhkan?" tanya salah satu keluarga nenek itu, wajahnya penuh air mata.

"Tanaman Mirvale. Tumbuh di tempat yang jauh di luar peta umum. Bahkan sebagian penyembuh menganggapnya sudah punah." Dokter itu menunduk. "Perjalanannya tak mudah."

Penyihir tua di sebelahnya mengangguk setuju. "Dan penyakitnya ini bukan cuma medis... ada kutukan sihir hitam yang menyatu di dalam tubuhnya. Obat biasa tak akan berfungsi."

"Di mana tempat tanaman itu?" tanya putra nenek Risha dengan suara gemetar.

"Lembah Kaldore," jawab sang penyihir.

Seketika, suasana menjadi sunyi. Wajah-wajah warga berubah tegang. Bahkan beberapa dari mereka terlihat bergidik.

"Tempat itu... terlalu jauh..." gumam salah satu warga.

Reno yang mendengar semuanya, menunduk. Dalam hatinya, ia merasa seperti melihat ibunya sendiri terbaring di sana. Kehangatan, pelukan, senyuman... semua itu begitu samar dalam ingatannya. Tapi perasaan kehilangan itu masih begitu kuat.

"Arkas..." gumam Reno.

Sang pria tua menatapnya, lalu melangkah maju. Ia berbicara lantang. "Kalau tak ada yang bisa ke sana, aku akan—"

"Aku akan pergi." Suara Reno terdengar jelas memotong kalimat Arkas.

Semua mata tertuju padanya. Arkas hanya mengangkat alis, lalu bersedekap.

"Kau?" gumamnya.

Reno mengepalkan tangannya. "Kalau tidak ada yang mau... maka aku akan melakukannya."

Arkas terkekeh pendek. "Kau masih bocah. Lihat tubuhmu itu. Bahkan bisa roboh kalau diseruduk kambing."

Reno mengerucutkan bibir, lalu membalas dengan nada kesal, "Dan kau? Orang tua yang bahkan kesulitan memungut sabun saat mandi?"

Suasana sempat hening. Lalu beberapa warga tertawa pelan. Bahkan Arkas menyeringai kecil. "Kau memang tak pernah kehilangan lidahmu."

"Dan aku tak akan kehilangan tekadku juga."

Akhirnya, Arkas mengangguk pelan. "Baiklah."

Beberapa warga mulai mendekati Reno, menepuk bahunya, menatapnya dengan harapan dan doa.

"Terima kasih, Reno."

"Selamatkan nenek Risha."

Keluarga nenek itu menggenggam tangan Reno erat, mata mereka penuh air mata. "Kami berhutang padamu. Ibu kami... satu-satunya yang kami punya."

Sang penyihir tua mengangguk, lalu mengangkat tongkatnya. Cahaya sihir membentuk lingkaran rumit di atas tubuh nenek Risha, lalu perlahan turun dan menyelubungi tubuhnya seperti kain waktu yang halus.

Reno menatap takjub. "Itu... sihir waktu?"

Penyihir tua itu menoleh sambil tertawa kecil. "Kau tahu banyak untuk anak sepertimu."

"Berapa lama sihir itu bertahan?"

"Sekitar lima tahun. Tapi setelah itu... tak ada yang bisa menahannya."

Reno menatapnya penuh rasa ingin tahu. Penyihir itu mengangkat alis. "Tertarik belajar sihir?"

Reno mengangguk perlahan.

"Kenapa tidak masuk akademi?"

Reno menjawab, "Karena... slot akademi terbatas. Aku tak sempat mendaftar."

"Aku bisa memberimu rekomendasi masuk, kalau kau bisa membawa tanaman itu."

Reno diam sejenak, lalu menolak. "Maaf... kalau aku menerimanya sekarang, aku akan terlambat. Perjalanan ini terlalu panjang."

Penyihir itu terdiam sejenak, lalu tertawa keras. "Benar juga! Dasar tua, aku lupa soal waktu!"

Setelah suasana mereda, Arkas menepuk pundak Reno dan mengajaknya pulang untuk bersiap.

Dalam perjalanan, Reno berjalan dengan kepala tertunduk.

"Kau memancingku, kan?" katanya lirih.

Arkas tersenyum tipis. "Kalau bukan kau, siapa lagi? Hanya kau yang punya tanda itu... Tanda kerajaan."

Reno menggigit bibirnya.

"Lagipula... sudah dua tahun sejak istana itu lenyap. Mungkin... kau bisa lewat dekat sana. Untuk mengenang."

Reno tak menjawab, tapi dalam hatinya, ada bara kecil yang mulai menyala.

Keesokan paginya, Reno berdiri di tengah desa, mengenakan jubah petualangan lama milik Arkas. Warnanya sudah agak pudar, tapi masih kokoh. Di tangannya, ia memegang pedang yang baru ia beli di kota Karden, kini dihias sedikit oleh ukiran sederhana.

Warga berkumpul. Beberapa membawa perbekalan—makanan, alat masak, selimut, bahkan kantong air.

Dari kerumunan, paman dari keluarga nenek Risha datang membawa kantong uang.

"Aku ingin memberimu ini. Untuk perbekalanmu."

Reno menggeleng. "Aku tidak butuh uang, Paman. Aku hanya ingin... roti buatan paman."

Paman itu tersenyum lebar, menepuk bahu Reno. "Kalau begitu, ambillah sedikit untuk beli roti di kota. Tapi kalau mau makan roti buatan paman lagi... pulanglah dengan selamat. Tidak perlu terburu-buru."

Reno tersenyum. Tipis. Tapi tulus.

Saat ia hendak berjalan, Arkas menghentikannya.

"Ini," katanya, menyerahkan sebuah topeng sederhana berwarna hitam.

Reno menerimanya, menatapnya sebentar lalu mengenakannya.

Arkas menepuk pundaknya, suara beratnya terdengar lembut. "Kembalilah dengan selamat."

Dan dengan satu lambaian tangan... Reno pun pergi, menembus kabut pagi desa kecil itu. Melangkah menuju petualangan baru—bukan hanya untuk menyelamatkan seseorang, tapi juga untuk menghadapi bayangannya sendiri yang selama ini ia tinggalkan.

Saat Reno berdiri di puncak bukit, pandangannya tertuju pada desanya yang terbentang luas di bawah sana. Pemandangan yang menenangkan, namun juga penuh makna. Dari kejauhan, ia bisa melihat orang-orang di desa yang sedang sibuk menjalani hari mereka. Namun, mata mereka tiba-tiba tertuju pada satu sosok yang berbeda. Itu adalah dirinya, Reno, yang berdiri di atas bukit, melambai dengan senyum ceria di wajahnya.

Arkas, yang memandang dari bawah, mengamati wajah Reno dengan penuh perhatian. Dia tersenyum kecil saat melihat Reno yang melambaikan tangan dengan semangat. Ada sesuatu yang begitu familiar tentang wajah itu. Tiba-tiba, kilas balik muncul di benaknya, membawa ingatannya kembali ke masa lalu yang jauh.

Beberapa tahun yang lalu, Arkas berada di kerajaan Arvendel. Ia sedang menjalani urusan yang penting, namun ia tidak bisa mengabaikan kesempatan untuk menyapa rekannya, Raja Fedric, dan Ratu Neyria, yang dulu pernah bekerja bersamanya. Arkas pernah menjadi pengawal pribadi mereka, dan meskipun sudah pensiun, ia tetap sering mengunjungi mereka. Saat ia hendak meninggalkan istana, langkahnya dihentikan oleh Ratu Neyria.

Ratu Neyria, wanita yang penuh kebijaksanaan dan aura misterius, mengeluarkan sebuah peta dari dalam laci mewah di ruang kerjanya. Ia menatap Arkas dengan tatapan serius, membuat pria tua kekar itu merasa ada sesuatu yang sangat penting sedang disampaikan kepadanya.

"Arkas, aku ingin menitipkan sesuatu padamu," kata Ratu Neyria dengan suara lembut namun penuh makna.

Arkas mengerutkan keningnya, tidak memahami apa yang sedang terjadi. Ratu Neyria menyerahkan peta yang dililitkan dengan sebuah kalung. "Ini adalah peta yang menuju warisan kerajaan kami, sesuatu yang sangat penting. Simpanlah ini dengan baik. Aku ingin kau menyimpannya di Virellin, di tempat yang aman."

Arkas merasa ada sesuatu yang aneh, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. "Mengapa harus aku yang menyimpannya, Ratu?"

Ratu Neyria tersenyum lemah. "Karena aku tahu ada seseorang di sana yang akan menjaganya. Seorang anak laki-laki yang akan datang, yang akan memegang takdir yang besar."

Arkas terdiam mendengar kata-kata itu. "Anak laki-laki? Apakah dia sudah lahir?"

Ratu Neyria menggelengkan kepalanya. "Belum. Tapi sebelum dia datang, ada tiga putri yang akan lebih dulu hadir. Namun, aku memiliki firasat bahwa takdir anak ini akan sangat berbeda. Bahkan dewa takdir pun tak bisa mengetahuinya."

Arkas terkejut mendengar hal itu. "Bagaimana mungkin? Takdir tidak bisa diprediksi?"

"Memang," jawab Ratu Neyria. "Tapi anak itu akan memiliki jalur takdir yang terpisah dari yang lain. Jika anak itu tidak mengikuti takdir yang benar, maka tak ada yang bisa memastikan bagaimana masa depan akan berkembang. Jadi, aku menitipkan warisan ini kepadamu, untuk membantunya."

Arkas merasa kebingungan. "Tapi, mengapa warisan ini begitu penting? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Ratu Neyria menghela napas dalam-dalam, seakan memikirkan kata-kata yang tepat. "Kerajaan ini akan hilang, Arkas. Aku ingin kau mempersiapkan warisan ini untuk anak itu, agar ia dapat melanjutkan apa yang telah kami bangun."

Arkas mengangguk, akhirnya mengerti maksud Ratu Neyria. Dia menerima peta itu dan berjanji akan menjaga warisan kerajaan dengan sebaik-baiknya. Ratu Neyria pun memberinya petunjuk untuk perjalanan menuju Virellin, tempat di mana anak itu akan dijaga oleh seseorang yang sudah dipilih untuk menjalankan takdirnya.

Beberapa bulan kemudian, Arkas tiba di Virellin. Namun, ia tidak tahu harus mulai dari mana. Tanpa petunjuk yang jelas, ia hanya bisa berkeliling dan mencari tempat yang tepat. Pada suatu malam, saat ia berada di tengah hutan yang lebat, sebuah aura gelap tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia langsung bersiap dengan pedangnya, mengira itu adalah ancaman.

Namun, saat bayangan itu muncul dari balik pohon, Arkas mengenali sosoknya. Itu adalah rekannya, seorang pria yang pernah bekerja dengan Raja Fedric. Pria itu pensiun setelah menjalani kehidupan yang damai dan lebih memilih untuk tinggal di luar kerajaan.

"Arkas, kau sudah sampai juga," kata rekannya dengan senyum lebar. "Aku dengar kau membawa sesuatu yang penting."

Arkas merasa ada yang tidak beres. "Bagaimana kau tahu?"

Rekannya tersenyum sambil menunjukkan peta yang sama. "Aku ditugaskan untuk menjaga peta ini. Ratu Neyria menitipkannya padaku."

Arkas terdiam sejenak, merasakan kecurigaan mulai muncul di dalam hatinya. "Apa maksudmu? Ratu Neyria tidak memberitahuku bahwa ada orang lain yang juga menjaga peta ini."

Rekannya tertawa ringan. "Tenang saja, Arkas. Ini bukan apa-apa. Aku hanya akan membawa peta ini ke tempat yang aman, ke dalam hutan. Tempat ini hanya bisa ditemukan oleh orang yang terpilih."

Arkas, yang mulai merasa tidak yakin, memutuskan untuk mengikuti rekannya. Mereka memasuki hutan, dan dalam sekejap, peta itu terlempar ke udara dan menghilang ke dalam gelapnya malam. Arkas kebingungan, bertanya-tanya ke mana peta itu pergi.

"Ke mana peta itu pergi?" tanya Arkas, mencoba memahami situasi.

Rekannya menjelaskan, "Peta ini hanya bisa ditemukan oleh mereka yang terpilih. Jika bukan orang yang terpilih, mereka hanya akan tersesat di hutan ini tanpa menemukan apa-apa."

Arkas mencoba mengikuti petunjuk itu, namun ketika ia berjalan lebih dalam, ia kembali bertemu dengan rekannya di tempat yang sama. Akhirnya, Arkas memutuskan untuk mempercayainya. Ia kembali ke desa dengan pikiran yang berat.

Kembali ke masa sekarang, Arkas berdiri di tempat yang sama, mengingatkan dirinya tentang percakapan tersebut. "Semoga kau berada di jalan yang benar," gumamnya, berharap keputusan yang telah diambilnya akan mengarah pada takdir yang benar.

9 bulan terlewatkan

Reno, yang kini sedang melihat peta yang diberikan oleh Arkas, merasa bahwa takdirnya mungkin sudah mulai terungkap. Peta itu menunjukkan jalur yang belum pernah ia lihat sebelumnya, seolah membawa petunjuk yang mengarah pada sesuatu yang besar.

Reno duduk sejenak, merenung sambil menatap bintang-bintang di langit malam. Hatinya penuh dengan pertanyaan tentang masa depannya dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa yang sedang dilakukan teman-temannya di Akademi? Pikirannya melayang jauh, namun suara gemerisik dari semak-semak menarik perhatiannya.

Siap-siapa yang mendekat? Reno segera bersiap untuk bertahan, namun yang muncul bukanlah musuh, melainkan seekor rubah putih dengan mata hijau yang tajam. Mereka saling bertatapan dalam keheningan, sebelum rubah itu berputar-putar seolah ingin Reno mengikutinya.

Rubah itu berlari ke dalam hutan, dan Reno, yang penasaran, mengikuti jejaknya. Saat mereka sampai di tengah hutan, tiba-tiba api biru menyala, menerangi malam yang gelap. Dari sana, sebuah cahaya muncul, mengarah pada sebuah pilar batu yang besar.

Di pilar itu, terdapat lukisan seorang wanita dengan rambut panjang, duduk di atas batu sambil memeluk seorang anak berambut hitam. Reno tertegun melihatnya. Ia merasa ada sesuatu yang sangat akrab. Tiba-tiba, cahaya dari atas pilar berubah, membentuk sosok siluet yang tampak seperti ibunya.

Reno merasa hatinya tercabik-cabik oleh rasa rindu yang begitu mendalam. Ia ingin percaya bahwa itu adalah ibunya, tapi dia tahu itu hanya ilusi dari sihir. Namun, saat ibunya mengucapkan beberapa kata petunjuk, semuanya berubah menjadi peta yang sama dengan yang diberikan Arkas.

Reno membuka peta itu dan melihat sebuah pesan di ujungnya: "Jika kamu menemukan kalung ini masih menyala, itu berarti jiwa ibu masih ada. Gunakan kalung ini untuk menghubungkan kita meski kita terpisah jauh."

Dengan hati yang penuh tekad, Reno menyematkan kalung itu dan berkata, "Aku pasti akan menemukan kalian."

More Chapters